Senin, 27 Mei 2013

Hadiah Terindah untuk Pengayuh Becak


Entah mimpi apa aku semalam. Hari jumat itu seperti mimpi buruk saja. Jalanan dipenuhi dengan antrian kendaraan yang terjebak dalam situasi macet. Aku berada di salah satu mobil yang mengantri. Sesekali aku melihat jam di tanganku. Waktu begitu cepat bergulir dan aku harus segera sampai di kantor. Dengan berat hati, aku turun dari mobil dan mencari tukang ojeg. Tetapi aku sama sekali tidak melihat satu pun tukang ojeg di daerah sana, yang aku lihat hanya seorang pria paruh baya dengan becaknya. Terpaksa aku harus naik becak untuk sampai di kantor. Walaupun sebenarnya aku merasa gengsi, tapi hanya itu satu-satunya cara agar aku segera sampai di kantor. Untungnya letak kantorku tidak terlalu jauh dari sana.
“Kek, antar saya ke Kantor Akuntan Publik Rina Fajriani, ya!”
Tukang becak itu mengangguk sambil tersenyum, “Iya, Neng”.
Becak pun meluncur menembus kemacetan jalanan pusat kota. Sedikit tenang dan agak gengsi, aku hanya terdiam di becak itu sembari menikmati semilir angin yang berhembus. Aku tak berhenti berpikir, memikirkan mimpi apa yang terjadi semalam.
Kurang lebih 15 menit waktu telah bergulir. Akhirnya aku sampai di kantor. Dengan tergesa-tergesa aku turun dari becak dan membayar ongkos becak. Tapi seketika tukang becak itu menolak ongkos dariku.
Sambil mengangkat tangan kanannya tanda menolak, tukang becak itu berkata, “Maaf, Neng. Hari ini tidak usah membayar ongkos. Terima kasih sudah naik becak saya.”
Aku langsung menatap tukang becak yang sudah tua itu. Aku merasa heran, kenapa tukang becak itu menolak ongkos dariku? Tukang becak itu membuatku penasaran. Mungkin ongkosnya kurang. Lalu aku menambah ongkos becak itu dari lima ribu rupiah menjadi sepuluh ribu rupiah, tetapi tukang becak itu tetap menolaknya.
“Kakek sombong sekali tidak mau menerima ongkos dari saya. Apa ongkos yang saya berikan masih kurang?” dengan nada tinggi aku berbicara pada tukang becak itu. Sebenarnya aku hanya penasaran dengan tukang becak itu. Aneh saja, jaman sekarang masih ada tukang becak yang memberi tumpangan gratis.
Tukang becak itu hanya tersenyum dan membalas pembicaraanku, “Maaf, Neng. Kebetulan untuk hari ini saya memberi tumpangan gratis. Sekali lagi maaf. Saya tidak mau menerima ongkosnya. Terima kasih sudah naik becak saya.”
Tukang becak itu terus meminta maaf dan berterima kasih kepadaku. Aku merasa heran dan semakin penasaran pada tukang becak itu.
“Iya, sudah. Terima kasih kembali Kakek sudah mengantar saya ke kantor,” ucapku dengan nada yang merendah.
Akhirnya aku harus bekerja dengan penuh rasa heran dan penasaran. Selama seminggu aku masih dibayang-bayangi rasa penasaranku pada kakek tukang becak itu. Hingga pada suatu pagi ketika aku akan berangkat kerja, aku melihat kakek itu di tempat yang sama. Dan aku memutuskan untuk naik becaknya lagi.
“Kakek, bisa antar saya ke kantor?” kataku sembari memampang senyuman di wajah.
“Iya, boleh Neng,” balas tukang becak itu.
Seperti minggu lalu, aku menikmati perjalanan di becak itu. Pada saat itu aku tidak lagi berpikir tentang mimpiku semalam. Aku memikirkan alasan tukang becak itu menolak ongkos dariku. Setibanya di kantor, aku membayar ongkos becaknya. Aku mengeluarkan uang lima puluh ribu rupiah.
“Maaf, Neng tidak usah membayar ongkosnya. Kebetulan hari ini gratis lagi. Terima kasih telah naik becak saya,” tukang becak itu kembali menolak ongkos dariku.
Aku semakin merasa heran. Atas dasar apa kakek itu selalu menolak ongkos dariku.
“Sebenarnya untuk apa Kakek menggratiskan ongkos becak? Seminggu kemarin saya penasaran pada Kakek,” bentakku pada kakek tua itu, ”sekarang saya mau Kakek terima ongkos dari saya. Saya tidak mau terus-terusan gratis. Kakek mengayuh becak untuk mencari uang, ‘kan? Kalau masih kurang kenapa Kakek tidak bilang saja sama saya?!” aku kembali membentak tukang becak itu.
Kemudian aku menambah ongkos becaknya menjadi seratus ribu rupiah, tetapi tetap saja tukang becak itu menolaknya. Kakek itu benar-benar membuatku semakin penasaran.
Tukang becak itu meminta maaf lagi kepadaku, “Maaf, Neng. Saya menjadi tukang becak memang untuk mencari nafkah, tetapi untuk hari ini saya tidak mengharapkan imbalan apapun.”
“Terserah Kakek!” ucapku sambil meninggalkannya.
Sebulan setelah kejadian itu. Aku bermaksud untuk menghapus rasa heran dan penasaranku. Aku memutuskan untuk naik becak kakek itu lagi. Sengaja aku pergi ke pangkalan becak kakek itu dengan menggunakan kendaraan umum.
Sesampainya di sana, aku langsung menghampirinya, “Kakek, sekarang saya tidak mau diantar ke kantor, tapi saya ingin berkeliling menikmati keindahan kota dengan becak Kakek.”
Kakek itu mengangguk dan tersenyum. Dengan perlahan kakek itu mengayuh becaknya, membawaku pergi berkeliling kota. Hampir seharian kakek itu menemaniku.
Tidak terasa hari sudah sore. Aku bergegas pulang. Kakek itu pun terus mengayuh becaknya.
Sesampainya di rumah, dengan digerogoti rasa penasaran, aku mengeluarkan uang satu juta rupiah untuk membayar tukang becak itu.
“Neng tidak usah membayar ongkos. Seperti biasa, hari ini gratis. “
Betapa kagetnya aku ketika kakek itu menolak ongkosku lagi. Lalu aku menambah uangnya menjadi dua juta rupiah, “Ini buat Kakek. Terima kasih sudah mengantar saya berkeliling kota.”
Kakek itu masih saja menolak uang dariku, meski aku telah mengeluarkan uang dua juta rupiah untuknya. Aku sungguh merasa sangat heran.
Aku mencoba menguak kembali rasa heran dan penasaranku, “Sekarang Kakek bilang yang sebenarnya kepadaku!” aku menatap kakek itu yang sedang mengelap lehernya dengan handuk, nampaknya kakek itu kelelahan, “apa alasan Kakek selalu menolak ongkos dariku?”
Kakek itu terdiam sejenak. Dengan memasang senyum di wajahnya ia membalas percakapanku, “Maaf kalau selama ini saya menolak ongkos dari Neng. Saya tidak bermaksud untuk menolak rezeki. Tapi saya hanya ingin memberi tumpangan gratis kepada siapa saja yang naik becak saya di hari Jum’at.”
Dengan seksama aku mendengarkan kakek itu bercerita.
“Kenapa demikian?” aku menyela pembicaraan kakek itu.
“Semua ini saya lakukan karena saya bernadzar untuk memberi tumpangan gratis di setiap hari Jum’at. Saya ingin menunaikan ibadah haji. Tapi dengan profesi saya sebagai tukang becak, apa daya penghasilan saya tidak cukup untuk berkunjung ke rumah Allah,” kakek itu melanjutkan pembicaraannya dengan nada lirih, “setiap malam saya dan keluarga memohon pada Yang Maha Kuasa agar menunjukkan jalan-Nya untuk kami beribadah di tanah suci, walaupun tidak mungkin bagi kami untuk pergi ke sana. Namun setidaknya dengan profesi saya sebagai tukang becak, saya bisa berbagi dan memberi sedikit senyuman kepada setiap orang yang naik becak saya dengan memberi tumpangan gratis.”
Ya Allah, aku seperti sulit bernafas. Rasa heran dan penasaranku seketika berubah menjadi rasa penyesalan. Selama ini aku berprasangka buruk pada kakek itu. Ternyata kakek itu mempunyai hati yang tulus dan ikhlas. Betapa mulianya kakek itu. Keadaan ekonomi lemah tidak menghalangi kakek itu untuk berbagi kepada sesama. Sedangkan aku, hanya berkecimpung dengan duniaku sendiri tanpa memikirkan orang-orang di sekitarku.
Setelah semua prasangka buruk itu musnah dari ingatanku. Aku menceritakan semua yang ku alami kepada kedua orang tuaku. Syukur alhamdulillah, hati ayah dan ibu tersentuh. Kedua orang tuaku akhirnya memutuskan untuk menemui tukang becak itu.
“Permisi, Pak. Saya orang tua Indira, gadis yang selalu diberi tumpangan gratis oleh Bapak. Saya ingin mengucapkan terima kasih dan saya ingin meminta maaf kalau selama ini Indira sudah membentak-bentak juga berprasangka buruk kepada Bapak,” ibuku memulai percakapannya dengan tukang becak itu.
Kemudian ayahku menambahkan pembicaraannya, “Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk memberi tahu Bapak, kalau kami sudah mengurus semua persiapan keberangkatan Bapak untuk menunaikan ibadah haji bersama keluarga.”
Kakek tua itu langsung bersujud mengucap tasbih dan syukur, “subhanallah!! Alhamdulillah ya allah, Alhamdulillah engkau telah mendengar dan mengabulkan do’a hamba sekeluarga,” kakek itu pun menepuk pundak saya dengan halus, “terima kasih, Neng. Terima kasih juga Bapak dan Ibu sudah memberikan saya kesempatan untuk beribadah di tanah suci.”
“Kakek berterima kasih saja sama Allah. Maafkan saya selama ini. Semoga Kakek sekeluarga diberikan kelancaran untuk beribadah di sana,” ucapku.
Aku dan kedua orang tuaku tersenyum melihat tukang becak dan keluarganya mengucap syukur. Mereka tampak bahagia. Aku belajar banyak hal dari kakek itu.

Allah itu sempurna. Hanya Allah yang memiliki skenario setiap insan manusia. Menuliskan dengan detail setiap detik dari apa yang sudah dan akan terjadi dalam kehidupan. Maka dari itu, aku selalu yakin tentang apa yang terjadi dalam hidup ini, pasti semuanya baik. Karna setiap hela nafas ini telah tercantum dalam skenario yang Allah anugerahkan untukku. Begitu pula dengan skenario kehidupan dari tukang becak itu. Semua yang tidak mungkin di dunia ini adalah hal yang mungkin bagi Allah SWT. Melihat kakek dan keluarganya, aku sadar bahwa yang kita cari di dunia ini bukan materi, melainkan keridhaan Allah. Kini aku mulai mengerti tentang arti kehidupan. Hidup adalah ketulusan, kesabaran dan keikhlasan.

Sabtu, 18 Mei 2013

PERCAKAPAN MIMPI

   Seorang perempuan bertanya kepada masa lalu, "Apakah kau percaya kekuatan mimpi akan mengantarkan kenanganmu kepada dunia?"
     "Entahlah, yang ku tahu kau tidak melahap waktumu untukku. Kau hanya mengingatnya sekejap mata terpejam, hanya dua detik dalam lelap tidurmu," balas masa lalu sambil berlalu.

Jumat, 17 Mei 2013

MAWAR

angin malam berbisik dengan peluh dalam hatiku
menanyakan jati diri yang tak berarah
aku pun berkata dalam tangis
"aku bukan wanita yang lemah
jati diriku adalah hatiku sendiri
jati diriku adalah muslimah
berhenti untuk menggunjing kesalahan-kesalahan masa lalu
semua hanya sebuah tulisan yang tak kan pernah bergerak"
dan jawaban atas pertanyaan angin malam itu terjawab dengan imanku

Jumat, 10 Mei 2013

DALAM CINTA

hai pria lama yang menjadi baru
sudah lama kita tidak bertatapan muka
ribuan hari yang kita lupakan
membawamu kembali pada pertemuan singkat

kala kau mengemban tugas dalam kiprahku
hadirmu menyejukkan setiap tubuh ini
pikiranku pun mulai mengingatmu dalam mimpi
pria yang serba hitam tapi tidak hitam

hai pria yang biasa-biasa
adamu meyakinkanku akan keindahan paras yang tidak menjamin
gantengnya mereka tidak menyamankanku, sepertimu
kamu berbeda dari apa yang kurasa sebelumnya

hai pria yang kini tak bisa kurangkul
mencintaimu sangat pahit
seperti cinta yang kupendam dalam lidah ini
seperti cinta yang tak bisa berbicara
namun hati tak pernah membisu

hai pria, kini aku membacamu dalam doaku
semoga saja Tuhan menganugerahkan dirimu untuk kisahku ;)

Senin, 06 Mei 2013

PERNIKAHAN SEPUPUKU Part 1

     Hari Minggu kemarin, aku sudah menjadwalkan waktu untuk menulis. Namun, jadwal itu seketika berubah total. Pagi hari aku dan keluargaku berjalan-jalan ke lapang joglo. Setelah itu aku bergegas untuk pergi ke rumah sepupuku yang akan menikah. Baru sampai di rumahnya, aku dan sepupuku langsung berangkat menuju salon Praba Sarira. Aku mengantar sepupuku untuk perawatan medi pedi. Aku duduk di bangku yang antik yang ada di salon. Salonnya enak, terasa sangat sejuk dengan hiasan pepohonan. Tidak hanya suasana sejuk yang ku temukan di sana, aku juga merasakan suasana penuh mistis dengan boneka-boneka barbie yang dipajang. Bonekanya terlihat menyeramkan. Aku jadi membayangkan bagaimana kalau boneka-boneka itu hidup seperti dalam film "Chucky" yang pernah ku tonton kala aku masih sekolah di SD.
     Selesai perawatan kuku tangan dan kaki, kami melanjutkan perjalanan menuju salah satu rumah teman sepupuku. Sepupuku berniat untuk memakai masker wajah dibantu oleh temannya. Alhasil, aku pun ikut maskeran bersamanya.
      Kami berdua melanjutkan hari untuk kembali ke rumah sepupuku. Suasana sudah semakin ramai dengan orang-orang yang mempersiapkan acara pernikahannya. Aku ikut sedikit menyumbangkan tenaga. Namun aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku beristirahat sejenak.
     Waktu menjelang sore. Tumben-tumbennya aku mandi sore. Aku mendengar suara berisik ketika sedang mandi, ternyata kakak pertamaku yang tinggal di Bekasi telah hadir di rumah kecilku bersama keluarga kecilnya. Aku kira mereka tidak akan menghadiri acara pernikahan sepupuku. Ternyata mereka memberi kejutan kepadaku dan keluarga.
    Tak banyak berbincang-bincang bersama keluarga kecil kakak pertamaku. Aku dan Mama pergi ke rumah sepupuku. Niatnya kami ingin bantu-bantu di sana. Kami berjalan berdua menyusuri jalanan yang cukup terjal (lebayyy dikit, ah ). Sesampainya di sana, kami mengobrol sebentar, setelah itu aku dan sepupu laki-lakiku pergi ke salon untuk menukarkan baju kebaya yang akan dipakai oleh besanan bibiku.
Aku dan dia melewati jalan Cikaret Hilir. Kami terus menyusuri perjalanan yang lumayan jauh, membuat pantatku merasa pegal saja. Kami terus melewati wilayah yang sedikit ku kenal sampai kami melewati jalan yang dihuni oleh dua anjing yang bergonggong keras.
     Ini seperti uji nyali ketika kami harus melewati anjing-anjing itu. Aku berteriak ketika motor kami dihampiri oleh salah satu anjing itu. Sungguh, dasar anjing!!! (memang anjing, sieh) Setelah berhasil melewati anjing itu, jantungku masih berolahraga dengan kencangnya. Aku masih trauma membayangkan anjing-anjing itu menganga seperti ingin memakan bagian-bagian dari tubuhku. Untung saja kami tidak menjadi santapan anjing kanibal itu.
      Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, kami pun sampai di salon yang dituju. Ternyata di salon itu ada kucing. Kucing itu terus mendekatiku, mungkin dia ingin berkenalan denganku. Tapi sayangnya, aku sedang tidak ingin diajak kenalan. Apalagi sama kucing seperti dia, aku kan takut kucing.
Semua urusan di salon telah selesai, aku dan saudaraku kembali pulang. Kehebohan tidak berhenti sampai waktu itu. Sang Mantan sepupuku berkunjung ke rumah sepupuku. Takut terjadi sesuatu dengan sepupuku, Oma menangis dan riweuh teu puguh. Aku disuruh melihat sepupuku yang mengantarkan mantannya pulang sampai ke depan.
     Sepupuku tak ku dapat, tapi malu yang kudapat. Sepupuku ada di teras rumah Oma dan sedang mengotak-ngatik laptopnya. Hadeuh, memang hari yang melelahkan. Sampai aku mau pulang pun, aku tidak melihat sosok merah "Angry Bird" dari sandalku. Aku bolak-balik mencarinya, tapi aku tidak jua menemukannya. Setelah itu aku memutuskan untuk memakai sandal lain yang ada di halaman rumah Oma. Ketika aku mulai berjalan, ternyata sandalnya putus. Terpaksa aku kembali ke rumah Oma dan memakai sandal lain.
      Sampai di rumah, aku menemukan sandalku. Adikku yang memakai sandal itu, sedangkan sandalnya ia tanggalkan di halaman rumah Oma. Adikku marah karena aku tidak memakai sandalnya. Dasar adik kecil, seharusnya aku yang marah karena dia yang memakai sandalku. Ya sudahlah, aku hanya bisa menahan angin yang ku hirup. Hari yang cukup melelahkan. :)