Entah mimpi apa
aku semalam. Hari jumat itu seperti mimpi buruk saja. Jalanan dipenuhi dengan
antrian kendaraan yang terjebak dalam situasi macet. Aku berada di salah satu
mobil yang mengantri. Sesekali aku melihat jam di tanganku. Waktu begitu cepat
bergulir dan aku harus segera sampai di kantor. Dengan berat hati, aku turun
dari mobil dan mencari tukang ojeg. Tetapi aku sama sekali tidak melihat satu
pun tukang ojeg di daerah sana ,
yang aku lihat hanya seorang pria paruh baya dengan becaknya. Terpaksa aku
harus naik becak untuk sampai di kantor. Walaupun sebenarnya aku merasa gengsi,
tapi hanya itu satu-satunya cara agar aku segera sampai di kantor. Untungnya
letak kantorku tidak terlalu jauh dari sana.
“Kek, antar saya
ke Kantor Akuntan Publik Rina Fajriani, ya!”
Tukang becak itu
mengangguk sambil tersenyum, “Iya, Neng”.
Becak pun
meluncur menembus kemacetan jalanan pusat kota. Sedikit tenang dan agak gengsi,
aku hanya terdiam di becak itu sembari menikmati semilir angin yang berhembus.
Aku tak berhenti berpikir, memikirkan mimpi apa yang terjadi semalam.
Kurang lebih 15 menit waktu telah bergulir. Akhirnya
aku sampai di kantor. Dengan tergesa-tergesa aku turun dari becak dan membayar
ongkos becak. Tapi seketika tukang becak itu menolak ongkos dariku.
Sambil
mengangkat tangan kanannya tanda menolak, tukang becak itu berkata, “Maaf,
Neng. Hari ini tidak usah membayar ongkos. Terima kasih sudah naik becak saya.”
Aku langsung
menatap tukang becak yang sudah tua itu. Aku merasa heran, kenapa tukang becak
itu menolak ongkos dariku? Tukang becak itu membuatku penasaran. Mungkin
ongkosnya kurang. Lalu aku menambah ongkos becak itu dari lima ribu rupiah
menjadi sepuluh ribu rupiah, tetapi tukang becak itu tetap menolaknya.
“Kakek sombong
sekali tidak mau menerima ongkos dari saya. Apa ongkos yang saya berikan masih
kurang?” dengan nada tinggi aku berbicara pada tukang becak itu. Sebenarnya aku
hanya penasaran dengan tukang becak itu. Aneh saja, jaman sekarang masih ada
tukang becak yang memberi tumpangan gratis.
Tukang becak itu
hanya tersenyum dan membalas pembicaraanku, “Maaf, Neng. Kebetulan untuk hari
ini saya memberi tumpangan gratis. Sekali lagi maaf. Saya tidak mau menerima
ongkosnya. Terima kasih sudah naik becak saya.”
Tukang becak itu terus meminta maaf dan berterima
kasih kepadaku. Aku merasa heran dan semakin penasaran pada tukang becak itu.
“Iya, sudah.
Terima kasih kembali Kakek sudah mengantar saya ke kantor,” ucapku dengan nada
yang merendah.
Akhirnya aku
harus bekerja dengan penuh rasa heran dan penasaran. Selama seminggu aku masih
dibayang-bayangi rasa penasaranku pada kakek tukang becak itu. Hingga pada
suatu pagi ketika aku akan berangkat kerja, aku melihat kakek itu di tempat
yang sama. Dan aku memutuskan untuk naik becaknya lagi.
“Kakek, bisa
antar saya ke kantor?” kataku sembari memampang senyuman di wajah.
“Iya, boleh
Neng,” balas tukang becak itu.
Seperti minggu
lalu, aku menikmati perjalanan di becak itu. Pada saat itu aku tidak lagi berpikir
tentang mimpiku semalam. Aku memikirkan alasan tukang becak itu menolak ongkos
dariku. Setibanya di kantor, aku membayar ongkos becaknya. Aku mengeluarkan
uang lima puluh ribu rupiah.
“Maaf, Neng
tidak usah membayar ongkosnya. Kebetulan hari ini gratis lagi. Terima kasih
telah naik becak saya,” tukang becak itu kembali menolak ongkos dariku.
Aku semakin merasa heran. Atas dasar apa kakek itu
selalu menolak ongkos dariku.
“Sebenarnya
untuk apa Kakek menggratiskan ongkos becak? Seminggu kemarin saya penasaran
pada Kakek,” bentakku pada kakek tua itu, ”sekarang saya mau Kakek terima
ongkos dari saya. Saya tidak mau terus-terusan gratis. Kakek mengayuh becak
untuk mencari uang, ‘kan? Kalau masih kurang kenapa Kakek tidak bilang saja
sama saya?!” aku kembali membentak tukang becak itu.
Kemudian aku
menambah ongkos becaknya menjadi seratus ribu rupiah, tetapi tetap saja tukang
becak itu menolaknya. Kakek itu benar-benar membuatku semakin penasaran.
Tukang becak itu
meminta maaf lagi kepadaku, “Maaf, Neng. Saya menjadi tukang becak memang untuk
mencari nafkah, tetapi untuk hari ini saya tidak mengharapkan imbalan apapun.”
“Terserah
Kakek!” ucapku sambil meninggalkannya.
Sebulan setelah
kejadian itu. Aku bermaksud untuk menghapus rasa heran dan penasaranku. Aku
memutuskan untuk naik becak kakek itu lagi. Sengaja aku pergi ke pangkalan
becak kakek itu dengan menggunakan kendaraan umum.
Sesampainya di sana, aku langsung menghampirinya,
“Kakek, sekarang saya tidak mau diantar ke kantor, tapi saya ingin berkeliling
menikmati keindahan kota
dengan becak Kakek.”
Kakek itu
mengangguk dan tersenyum. Dengan perlahan kakek itu mengayuh becaknya,
membawaku pergi berkeliling kota. Hampir seharian kakek itu menemaniku.
Tidak terasa hari sudah sore. Aku bergegas pulang. Kakek
itu pun terus mengayuh becaknya.
Sesampainya di
rumah, dengan digerogoti rasa penasaran, aku mengeluarkan uang satu juta rupiah
untuk membayar tukang becak itu.
“Neng tidak usah membayar ongkos. Seperti biasa, hari
ini gratis. “
Betapa kagetnya aku ketika kakek itu menolak ongkosku
lagi. Lalu aku menambah uangnya menjadi dua juta rupiah, “Ini buat Kakek.
Terima kasih sudah mengantar saya berkeliling kota.”
Kakek itu masih
saja menolak uang dariku, meski aku telah mengeluarkan uang dua juta rupiah untuknya.
Aku sungguh merasa sangat heran.
Aku mencoba menguak kembali rasa heran dan
penasaranku, “Sekarang Kakek bilang yang sebenarnya kepadaku!” aku menatap kakek
itu yang sedang mengelap lehernya dengan handuk, nampaknya kakek itu kelelahan,
“apa alasan Kakek selalu menolak ongkos dariku?”
Kakek itu
terdiam sejenak. Dengan memasang senyum di wajahnya ia membalas percakapanku, “Maaf
kalau selama ini saya menolak ongkos dari Neng. Saya tidak bermaksud untuk
menolak rezeki. Tapi saya hanya ingin memberi tumpangan gratis kepada siapa
saja yang naik becak saya di hari Jum’at.”
Dengan seksama
aku mendengarkan kakek itu bercerita.
“Kenapa
demikian?” aku menyela pembicaraan kakek itu.
“Semua ini saya
lakukan karena saya bernadzar untuk memberi tumpangan gratis di setiap hari
Jum’at. Saya ingin menunaikan ibadah haji. Tapi dengan profesi saya sebagai
tukang becak, apa daya penghasilan saya tidak cukup untuk berkunjung ke rumah
Allah,” kakek itu melanjutkan pembicaraannya dengan nada lirih, “setiap malam
saya dan keluarga memohon pada Yang Maha Kuasa agar menunjukkan jalan-Nya untuk
kami beribadah di tanah suci, walaupun tidak mungkin bagi kami untuk pergi ke
sana. Namun setidaknya dengan profesi saya sebagai tukang becak, saya bisa
berbagi dan memberi sedikit senyuman kepada setiap orang yang naik becak saya
dengan memberi tumpangan gratis.”
Ya Allah, aku
seperti sulit bernafas. Rasa heran dan penasaranku seketika berubah menjadi
rasa penyesalan. Selama ini aku berprasangka buruk pada kakek itu. Ternyata kakek
itu mempunyai hati yang tulus dan ikhlas. Betapa mulianya kakek itu. Keadaan
ekonomi lemah tidak menghalangi kakek itu untuk berbagi kepada sesama.
Sedangkan aku, hanya berkecimpung dengan duniaku sendiri tanpa memikirkan
orang-orang di sekitarku.
Setelah semua
prasangka buruk itu musnah dari ingatanku. Aku menceritakan semua yang ku alami
kepada kedua orang tuaku. Syukur alhamdulillah, hati ayah dan ibu tersentuh.
Kedua orang tuaku akhirnya memutuskan untuk menemui tukang becak itu.
“Permisi, Pak.
Saya orang tua Indira, gadis yang selalu diberi tumpangan gratis oleh Bapak.
Saya ingin mengucapkan terima kasih dan saya ingin meminta maaf kalau selama
ini Indira sudah membentak-bentak juga berprasangka buruk kepada Bapak,” ibuku
memulai percakapannya dengan tukang becak itu.
Kemudian ayahku
menambahkan pembicaraannya, “Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk
memberi tahu Bapak, kalau kami sudah mengurus semua persiapan keberangkatan
Bapak untuk menunaikan ibadah haji bersama keluarga.”
Kakek tua itu
langsung bersujud mengucap tasbih dan syukur, “subhanallah!! Alhamdulillah ya
allah, Alhamdulillah engkau telah mendengar dan mengabulkan do’a hamba
sekeluarga,” kakek itu pun menepuk pundak saya dengan halus, “terima kasih,
Neng. Terima kasih juga Bapak dan Ibu sudah memberikan saya kesempatan untuk
beribadah di tanah suci.”
“Kakek berterima
kasih saja sama Allah. Maafkan saya selama ini. Semoga Kakek sekeluarga
diberikan kelancaran untuk beribadah di sana,” ucapku.
Aku dan kedua
orang tuaku tersenyum melihat tukang becak dan keluarganya mengucap syukur.
Mereka tampak bahagia. Aku belajar banyak hal dari kakek itu.
Allah itu sempurna. Hanya Allah
yang memiliki skenario setiap insan manusia. Menuliskan dengan detail setiap
detik dari apa yang sudah dan akan terjadi dalam kehidupan. Maka dari itu, aku
selalu yakin tentang apa yang terjadi dalam hidup ini, pasti semuanya baik.
Karna setiap hela nafas ini telah tercantum dalam skenario yang Allah
anugerahkan untukku. Begitu pula dengan skenario kehidupan dari tukang becak
itu. Semua yang tidak mungkin di dunia ini adalah hal yang mungkin bagi Allah
SWT. Melihat kakek dan keluarganya, aku sadar bahwa yang kita cari di dunia ini
bukan materi, melainkan keridhaan Allah. Kini aku mulai mengerti tentang arti
kehidupan. Hidup adalah ketulusan, kesabaran dan keikhlasan.