Selasa, 25 Juni 2013

Pernikahan Sepupuku Part 3

     Hei, hei!!!
     Sekarang aku mau share foto-foto pernikahan sepupuku yang lainnya. (mungkin enggak penting sih buat kalian).
     Ini dia pasangan yang belum pernah ada kata putus. Pasangan yang sempat terpisahkan oleh waktu namun dipertemukan kembali oleh waktu. Karna jodoh itu memang tidak ke mana. Semenjak mereka mengalami fase cinta monyet, ternyata Tuhan telah menakdirkan mereka untuk bersatu kembali, meskipun mereka telah melewati beragam hati sampai akhirnya berlabuh pada takdir cintanya.

Mey & Cep

     Karena pernikahan sepupuku, aku dan saudara-saudaraku akhirnya berkumpul. Kami yang jarang bertemu (padahal tinggal di satu kota), saling berbagi tawa dan berbagi senyum kebahagiaan. Persaudaraan itu lebih indah daripada sahabat atau teman. Baik dan buruknya saudara, kami tetap diikat oleh darah yang menjadi takdir ikatan hidup kami.
     Persaudaraan yang paling kental di antara saudara-saudara lainnya adalah bersama Teteh kandung dan keponakan-keponakan kecilku tercinta. Meski kami terpisahkan oleh jarak karena tinggal di kota yang berbeda, kami tetap tidak pernah lupa untuk saling memberi kabar lewat telepon. Teteh pertamaku tinggal di kota Bekasi, ia harus mengikuti setiap langkah suaminya. Sedangkan Teteh keduaku tinggal di kota hujan, ia harus mencari nafkah untuk anak-anaknya yang tinggal di rumah bersamaku.

 my mum, my teteh, & my niece (Jocelyn Kania Putri)


 teroret, bapaku ikutan eksis juga bersama sepupunya mama ;)




N.B. : Setiap orang pasti merasakan kebahagiaan ketika berkumpul bersama keluarga dan saudara-saudaranya, baik secara sadar atau pun tidak sadar. Persaudaraan mengubah hidup lebih bermakna. Bukan karena hanya ada ikatan darah tapi karena keyakinan batin kita yang membuat kita begitu dekat bersama saudara kita.

Sabtu, 22 Juni 2013

CERPEN "HALALAN SUKABUMI"


Malam ini bus kembali membawaku ke Sukabumi. Kunikmati setiap jalan yang dilalui. Jalan ini adalah jalan kenangan. Ketika aku tenggelam dalam cinta seseorang yang kini tak di sampingku lagi. Seseorang yang aku kira akan menjadi tempat terakhir cintaku. Seseorang yang telah membuatku menjadi orang lain. Seseorang yang merubah setiap langkah kehidupanku. Seseorang yang akhirnya memilih cinta lain dalam hidupnya dan menghapus setiap cerita yang aku ukir dalam hatinya.
Aku sadar akan setiap lembar kesalahan yang kutulis untuk dirinya. Kesadaran itu muncul ketika dia menutup hatinya untukku. Begitu banyak daftar kesalahan yang kubuat ketika dia menjadi kekasihku.
Namun semangatku kembali muncul ketika aku memasuki ruangan di kampusku. Kini hanyalah cita-cita yang terbenam di otakku. Aku harus bisa bangkit dari hitamnya masa lalu. Aku harus mengukir setiap mimpi yang akan menjadi masa depanku.
Waktu benar-benar telah menghapus bayangannya dari pikiranku. Aku telah mampu menyapu setiap helai cintanya dalam hatiku dan aku telah siap membuka hati untuk orang selain dirinya.
Dari mulai sekarang, aku tidak boleh mengingatnya lagi dan aku harus fokus terhadap cita-citaku. Meski senda gurau menghiasi kelas malam ini. Aku tetap harus serius belajar dan meresapi setiap ilmu yang diberikan oleh dosen-dosenku.
Setelah melewati dua mata kuliah malam ini, saatnya aku untuk kembali ke kotaku tercinta, Cianjur. Aku berjalan dengan senyuman menuju tempat pemberhentian bus. Tanpa ada ini itu, aku langsung naik bus yang sedang mejeng di dekat kampusku. Aku duduk di bangku urutan keempat dari belakang sopir. Aku duduk manis dan menyandar ke kursi.
Hari ini sangat melelahkan tapi juga menyenangkan. Entah kenapa aku selalu merasakan kebebasan hati ketika aku belajar di kampus. Hatiku selalu terasa damai menjalin silaturahmi bersama teman-teman kuliahku.
Meskipun Sukabumi pernah menyimpan kenangan burukku bersama seseorang, tapi aku selalu merasa tenang bila terdiam di kota ini. Aku tak pernah merasa galau atau pun risau ketika harus kembali ke kota ini. Begitu pun dengan apa yang kurasakan saat ini, hatiku terasa sangat tentram. Kegiatanku hari ini, dari mulai bekerja sampai kuliah malam, membuatku tertidur di dalam bus yang masih diam ini.
Sampai bus berjalan mengantarkanku pulang ke rumah, aku masih tertidur pulas.
“Neng, ongkos Neng!” kata kondektur bus sambil menepuk-nepuk pundakku.
Dengan perlahan aku membuka mata dan mengumpulkan nyawa yang baru saja melewati dunia mimpi. Kemudian aku mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah dari saku dan memberikannya kepada kondektur itu. Kondektur itu pun berlalu begitu saja.
“Mang, mana kembaliannya?” teriakku kepada kondektur itu.
“Kembalian apa, Neng?” balas kondektur itu yang masih menarik ongkos dari penumpang lainnya yang duduk di bangku paling depan.
“Biasanya juga kalau dari Sukabumi ke Cianjur, ongkosnya cuma enam ribu!” aku mulai mengerang dan kesal.
“Ini bus terakhir, Neng. Jadi ongkosnya beda.”
“Iya, biasanya juga enam ribu. Kalau malam aku selalu naik bus terakhir, naik bus Sangkuriang saja ongkosnya enam ribu,” aku semakin kesal kepada kondektur bus itu.
Kondektur bus itu tidak menggubris perkataanku, ia malah menggerutu kepada sopir bus, “Da ieu mah lain beus Sangkuriang atuh!” Kendektur bus itu berkata kalau bus ini bukan bus Sangkuriang.
“Biasanya enam ribu, ya? Memang Teteh sudah dari mana?” tanya seorang pria yang duduk di sampingku.
Tanpa memperhatikan wajahnya aku membalas pertanyaannya, “Iya, biasanya juga enam ribu. Setiap hari Selasa dan Rabu aku selalu pulang malam dan ongkosnya selalu enam ribu.
“Memangnya Teteh sudah dari mana?”
“Kuliah,” jawabku singkat.
Lalu kami terdiam dalam hening. Aku terdiam melirik pemandangan jalan di kala malam dari balik jendela bus. Malam begitu sunyi, sesunyi hatiku setelah kepergian dia yang dulu meramaikan hatiku.
Bus terus melaju melewati jalanan yang mulai sepi dari pengunjung berkendaraan. Waktu terus berdetik menghampiri malam dan kedinginan. Sedangkan aku terus termenung memandang setiap kesepian malam itu. Aku hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan akan nasib cintaku. Namun aku tetap yakin kalau Tuhan akan memberikan keindahan cinta pada waktunya.
Mungkin sudah saatnya aku kembali kepada Tuhan dan berhenti memikirkan cinta itu. Cinta yang telah membutakan pikiran dan mata hatiku. Mungkin sudah saatnya aku kembali kepada keteguhan imanku. Cinta kepada sesama hanya membuat hatiku lara. Tapi cinta kepada Tuhan pasti selalu indah sekalipun jalan yang harus ditempuh tak seindah harapan dan keinginan.

* * *

Pria di sebelahku sungguh mengusik diamku. Dia terus tertawa kecil. Kemudian aku melirik ke arahnya, pria itu sedang memotret ekspresi temannya yang sedang tertidur di urutan bangku tetangga. Pria itu pun berbalik ke arahku. Kami saling menatap, pria itu tersenyum kepadaku. Hadeuh! Pria di sebelahku ini ternyata tidak seburuk yang ku kira. Wajahnya indah dan semakin indah ketika tersenyum. Lesung pipitnya menjadi pemanis senyumannya.
Tak kuasa memandangnya terlalu lama, aku mengalihkan pandanganku kembali ke arah jendela tanpa membalas senyumannya. Aku kembali menatap kegelapan malam di luar sana. Namun yang aku pikirkan sekarang bukanlah tentang masa lalu, tapi tentang keindahan makhluk Tuhan yang sedang bersanding bersamaku di bangku bus malam ini.
Tak terasa, sebentar lagi bus akan mendekati persinggahanku. Aku bersiap-siap untuk turun dari bus. Aku berlalu meninggalkan pria itu tanpa senyuman, tanpa sebutir kata yang terlontar dari bibirku, dan tanpa menatap wajahnya yang terlalu indah bila dipandang.
Aku berdiri di depan bersama kondektur bus yang telah membuatku kecewa. Sampai di pertigaan pasir hayam, aku bersiap untuk segera turun dari bus dengan memasang wajah super jutek. Aku merasa muak melihat wajah kondektur yang tidak jujur itu.
“Hati-hati, Neng!” ucap kondektur bus itu dengan genit yang menyebalkan.
Mantap. Aku memakai sepatu hak tinggi dan dengan santainya aku meluapkan kekesalanku kepada kondektur itu. Tanpa sengaja aku menginjak kaki kondektur itu.
“Aw!” teriak kondektur itu, seketika ia melototiku.
“Maaf, Pak! Aku tidak sengaja,” aku turun dari bus tanpa melihat pelototannya. Aku merasa sangat lega, amarah yang kupendam selama berdiam diri di bus telah aku lepaskan. Walau sebenarnya aku memang tidak sengaja menginjak kaki kondektur itu.
Seperti biasa, ojeg langgananku menghampiriku sesaat setelah aku turun dari bus. Aku langsung naik ojeg itu tanpa berkata-kata, karena tukang ojeg di daerah sini sudah mengenalku dan biasa mengantarkanku pulang.
Angin berhembus meniup ragaku. Ah, wajah pria itu menghiasi pikiranku. Pria berjaket merah itu sangat indah. Aku menyesal selama di bus tidak banyak bicara kepadanya. Aku menyesal tidak sempat berkenalan dengannya. Padahal setelah aku melihat senyumannya, aku berharap dia akan mengajakku berkenalan. Tapi tidak, dia pun hanya terdiam sepertiku.
Ah, Pria berjaket merah! Pria itu mulai menghiasi otakku. Sampai aku tiba di rumah pun, aku masih memikirkannya.
Tuhan, dia begitu indah. Dari pandangan sesaat itu, aku melihat kebaikan dalam dirinya. Semoga saja Engkau mempertemukan kami kembali, karena hati ini begitu yakin kalau ini adalah cinta, cinta pada pandangan pertama. Tuhan, aku sungguh menginginkanya. Semoga Engkau menakdirkan hal indah untukku dan dirinya. Amiin.

* * *

Sepulang kuliah, aku duduk di bangku yang tersedia di depan kampus. Aku kembali menunggu bus yang akan mengantarkanku pulang. Aku menutup mataku, menghirup udara malam kota Sukabumi dan mendengarkan setiap irama kendaraan yang melintas di hadapanku.
Aku masih mengingat setiap senyuman yang terpancar dari paras pria berjaket merah itu. Aku pun berbisik dalam hati, “Hai, pria berjaket merah yang tak pernah ku ketahui keasliannya! Aku berharap bus malam ini akan mempertemukanku kembali dengan sosok sepertimu, meski hanya dengan bayanganmu yang mampu meredamkan masa laluku yang terasa pilu. Meski mata ini hanya menatapmu dalam satu kedipan, mata ini mampu menyimpan potret indahmu. Meski telinga ini hanya mendengar selintas tanyamu tentang diriku, telinga ini masih selalu mendengar bisikan-bisikan lembutmu. Meski tanganmu tak pernah menyentuh apapun yang ku miliki, aku selalu merasakan belaian hangatmu yang tulus untuk diriku. Dan meski aku sempat tidak mempercayai akan cinta pada pandangan pertama, kali ini aku mulai percaya dengan melihat keindahan yang terpancar dari jiwamu.”
Dengan perlahan aku membuka mata. Betapa terkejutnya aku melihat sesosok pria yang duduk di sampingku. Aku memandangnya dan dia memandangku jua, kami saling memandang. Pria berjaket merah itu duduk di sampingku. Indah, dia terlalu indah untuk dipandang. Dia mampu membuatku tersipu malu untuk menatapnya. Dengan segera pula, aku memalingkan pandanganku dari senyuman indahnya. Lesung pipit di pipinya membuat hatiku semakin bergetar. Ada cinta dalam setiap getarannya.
“Alan!” teriak seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kampus.
Ternyata pria berjaket merah itu bernama Alan. Lalu, siapa perempuan yang memanggilnya dan mungkin sedang ditunggunya sedari tadi? Aku hanya bisa terdiam melihat Alan menghampiri perempuan itu. Alan pun berlalu meninggalkanku dengan menunggangi motor ninjanya yang berwarna biru. Ia berlalu bersama perempuan yang kurasa lebih cantik dari diriku.
Aku kembali berpikir tentang pria berjaket merah itu. Mungkin dia bukan jodohku. Pertemuan singkat kami hanyalah kebahagiaan sesaatku. Kebahagiaan untukku melupakan peristiwa silam dalam satu helaan nafasku.
Sementara aku masih memandang kendaraan yang berlalu lalang. Aku masih setia menunggu bus yang akan membawaku pulang ke kota kenyataanku. Kota yang selalu memberiku kenyataan dalam hidup ini. Cianjur bersemi, kota kelahiranku yang tidak pernah memberiku cerita khayalan. Tidak seperti kota Sukabumi yang selalu menjadi persinggahan dari mimpi-mimpiku yang hanya bunga pikiran ini. Segala keindahan kota Sukabumi hanyalah mimpi dalam setiap khayalku.
Aku berjalan mendekati seorang pria paruh baya yang tak lain adalah tukang parkir di kampus. Aku berniat untuk menanyakan bus terakhir malam ini. “Punten, Pak! Bus terakhir sudah lewat atau belum? Aku sudah menunggu selama satu jam, tapi belum ada bus yang lewat.
“Tunggu saja, Neng! Biasanya mah masih ada.”
Hatur nuhun, Pak!”
Aku kembali setia menunggu bus malam ini. Lampu-lampu yang menerangi kampus mulai dipadamkan. Aku masih duduk seorang diri dan terdiam dalam keheningan. Aku terus memandang ke arah jalanan. Tiba-tiba seorang pria bermotor berhenti di hadapanku. Sepertinya aku mengenal motor dan pemiliknya itu. Dia adalah Alan, pria berjaket merah.
Alan berjalan menghampiriku, “Lewat dari jam sepuluh sudah tidak akan ada buis lagi. Mungkin bus terakhir sudah lewat. Maklum, jadwal busnya labil, jadi setiap harinya tidak menentu.” Alan menyodorkan sebuah helm kepadaku, “Kamu pulang bersamaku saja! Kebetulan aku juga mau ke Cianjur.”
Aku hanya bisa terdiam melihat Alan yang mengajakku pulang bersama. Aku ingin berkata “iya” tapi bibir ini rasanya sangat kaku untuk mengatakannya.
“Ayo, sudah malam! Tidak usah banyak berpikir! Tenang saja, aku tidak akan macam-macam! Cukup satu macam saja, aku hanya khawatir melihat perempuan seorang diri di kala malam.”
Akhirnya aku menerima ajakannya karena bus yang kutunggu tak kunjung datang dan malam pun semakin larut. Tanpa sepatah katapun, aku langsung naik kencana miliknya. Aku duduk termenung di belakangnya dengan memeluk tas yang ku bawa. Alan melajukan motornya dengan sangat tenang, membuat hatiku terasa nyaman bersamanya.
Bulan dan bintang malam ini tersenyum kepadaku. Meskipun aku masih mencium bau anyir darah dari setiap alunan jalan kenangan ini, wangi jiwanya mampu menyejukkan setiap hembusan nafas masa lalu itu. Dingin pun mulai menyelusup ke dalam raga ini. Kami sudah melewati daerah Sukaraja dan akan memasuki wilayah Sukalarang. Aku mengusap-ngusap lenganku karena kedinginan. Meskipun aku  memakai pakaian panjang dengan jilbab yang menutupi rambutku, angin tetap menembus setiap celah baju yang ku pakai.
Alan menepikan motornya ke pinggir jalan dan menghentikan laju motornya. Kemudian ia melepaskan jaket merahnya, “Ini, pakai jaketku! Kamu pasti kedinginan.”
“Aku tidak apa-apa. Aku memakai baju lengan panjang jadi tidak terlalu dingin. Kamu pakai saja lagi jaketnya! Takutnya malah kamu yang kedinginan.” Aku menolak perhatian yang diberikan Alan. Aku memang kedinginan, tapi kalau aku memakai jaketnya, aku akan merasa lebih kedinginan karena membiarkannya kedinginan.
“Ayolah!” Alan memakaikan jaketnya kepadaku.
“Maaf! Aku paling tidak suka kalau dipaksa,” aku melepaskan jaketnya.
“Maafkan aku!”
Alan kembali melajukan motornya tanpa memakai kembali jaketnya. Mungkin ini lebih adil dan baik. Di antara kami tidak ada yang memakai jaket. Padahal aku merasakan dingin yang menusuk ragaku dan aku merasakannya juga yang sedang kedinginan.

* * *
Setelah melewati jalanan yang dingin dan begitu sepi, akhirnya kami sampai di Cianjur. Alan mengantarkanku sampai depan rumah. Aku turun dari motornya dengan berat hati karena harus berpisah dengannya. Aku tidak tahu apakah waktu akan mempertemukan kami kembali.
“Terima kasih, sudah mengantarku pulang!” ucapku lirih.
“Iya, sama-sama,” balas Alan sambil memamerkan senyuman manisnya yang dibumbui dengan lesung pipit yang menggoda.
“Maaf, aku tidak bisa mengajakmu ke dalam rumah!”
“Tidak apa-apa. Senang bisa mengantarkanmu pulang. Selamat beristirahat!”
“Iya, hati-hati di jalan!”
Alan pun berlalu dengan motornya. Aku segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.
Dari senyuman akan perjalanan indah dari Sukabumi malam ini, hatiku kembali merasakan kehampaan. Aku sangat ingin meloncati hari dan melewati sehari besok. Karna esok hari adalah hari yang akan menentukan masa depanku, aku akan dilamar oleh seorang pria pilihan Bapak. Bulan kemarin Bapak bertemu dengan sahabat lamanya, dan Bapak merencanakan perjodohanku dengan anak dari sahabatnya itu. Aku sebagai anak tidak bisa menolak kehendak orang tua. Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka.
Tuhan, kenapa ada resah ketika aku akan menguncupkan daun-daun mata ini? Kenapa ada rindu ketika hati merasa sepi? Kenapa hanya tangis yang setia mendekapku dengan tulus? Kenapa dia hanyalah sebuah bayangan dari mimpi-mimpiku? Padahal di setiap hembusan nafas ini selalu ada doa untukku agar bisa bersamanya, bersamanya dengan sakinah yang diridhoi-Mu. Perasaan ini terkoyah oleh setiap gambarannya dalam ingatanku. Aku hanya bisa berpasrah dalam takdir cintaku. Aku hanya bisa menceritakan cinta ini kepada-Mu. Tuhan, aku hanya ingin menjadi yang halal untuk dirinya.
Namun bila pria berjaket merah itu bukanlah jodohku. Aku ikhlas untuk menjalani setiap cerita yang telah Kau susun. Aku selalu yakin jikalau Engkau telah mempersiapkan lelaki yang baik untuk diriku. Aku serahkan seluruh kehidupanku kepada-Mu, karena Engkaulah Maha Cinta yang mengetahui segala hal terbaik untuk diriku.
Setelah tangisan mengalir di pipiku, hatiku mulai terasa tenang, sehingga dengan perlahan aku menutupkan mata dan tertidur dalam kedamaian hati. Namun, pria berjaket merah itu hadir dalam mimpiku. Aku pun memimpikan kembali mantan pacarku. Dalam mimpi itu, mantan pacarku mengucapkan “selamat tinggal” dan pria berjaket merah itu tersenyum melihatku berpisah dengan mantan pacarku. Sedangkan aku hanya terdiam dalam hening, sampai ada seseorang yang merangkul dan mendekapku dengan hangat. Wangi tubuhnya begitu menyejukkan kalbu. Tapi aku tidak mengetahui siapa pria itu.
Aku pun terbangun dari tidurku tanpa mengetahui pria yang begitu indah dalam mimpiku tadi. Pria itu menjadi pertanyaan dalam detik pikiranku. Mimpi menggantung kisah cinta dalam dua detik waktuku. Yang aku mengerti dari mimpi tadi hanyalah sebuah percakapan di masa lalu.

* * *

Pagi ini orang-orang di rumahku sedang sibuk mempersiapkan acara lamaranku. Aku masih termenung memikirkan mimpi semalam. Hatiku pun terasa sendu menghadapi acara bersejarah ini. Aku merias wajahku dengan perlahan sambil menatap potret diriku di kaca. Kemudian aku memakai jilbab dengan sedikit ukiran.
Hatiku semakin sendu ketika aku mendengar calon suamiku beserta rombongannya telah tiba di rumah. Dari dalam kamar aku hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan. Sudah saatnya aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria berjaket merah itu. “Selamat tinggal, Alan! Kita memang tidak berjodoh. Pertemuan di bus kala itu hanya tinggallah kata-kata,” kataku yang masih menatap diri di cermin.
“Wulan!” panggil Ibu sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya, Bu!” Aku membuka pintu kamar. Lalu aku berjalan berdampingan bersama Ibu untuk menghampiri rombongan tamu yang akan mengisi kisahku di masa depan. Aku berjalan merendahkan hatiku dengan terus menunduk. Semoga saja pria yang akan menjadi suamiku itu adalah pria yang mampu mengantarkan pelayaran hidupku dengan iman dan takwa sebaik-baiknya makhluk Tuhan.
Percakapan lamaran pun dimulai. Aku masih menundukkan pandanganku. Aku mendengar setiap kata yang dialunkan oleh para perwakilan keluarga, dari keluargaku dan dari keluarga sahabat Bapakku.
Sampai Ibu dari calon suamiku memberikan kalung emas kepadaku dan memasangkannya di leherku, aku baru tersenyum tanpa melirik pria yang akan menjadi suamiku. Nampaknya pria itu pun tidak berkomentar sedikit pun. Mungkin pria itu juga belum menerima perjodohan ini.
Kesepakatan antara dua keluarga telah terjalin. Aku dan pria itu akan menikah bulan depan. Aku merasa pilu dengan kesepakatan yang baru saja kudengar.
Sementara para rombongan calon suamiku menikmati jamuan yang telah dipersiapkan oleh keluargaku, aku keluar ruangan rumah yang kurasa telah penat dari kericuhan jiwa yang merapuh ini. Aku duduk di bangku depan rumahku.
“Hai!” ucap seorang pria menyapa diriku.
Aku yang sedang duduk termenung melirik ke arahnya. Aku terkejut melihat Alan, pria berjaket merah yang selalu menghiasi batinku, berdiri di hadapaku. Aku merasa seperti bermimpi melihatnya tersenyum semanis harapanku.
Alan duduk di sampingku, “Awalnya aku menolak perjodohan ini. Namun entah mengapa ketika Ayah menerangkanku tentang wanita yang akan dijodohkan denganku, aku menerima perjodohan ini. Harapan cintaku semakin meyakin kepada seorang wanita yang ku impikan ketika Ayah berkata kalau wanita itu adalah orang Cianjur.
Aku berdoa dalam malam-malamku. Aku berharap agar Tuhan menjodohkanku dengan wanita yang pernah duduk di sampingku ketika aku naik bus menuju Cianjur. Wanita yang terlihat jutek tapi mengagumkan. Wanita yang menenangkan hatiku dari jarak Sukabumi ke Cianjur. Doaku pun terkabul. Jodohku adalah kamu.”
“Aku, aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi setiap rahasia Tuhan. Aku hanya bisa bersyukur kepada-Nya. Tapi, siapa wanita yang kau jemput di kampus kala itu?”
“Dia Ayla, adikku. Sekarang dia tidak bisa ikut ke sini karena pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.
Hati yang sendu, lara, dan pilu seketika berubah menjadi senyuman. Wanita yang ia tunggu di Sukabumi kala itu ternyata adalah adik kandungnya. Hatiku tersenyum melihat keelokan parasnya dan mendengar alunan nada-nada ceritanya. Dari Sukabumi cinta itu bersemi dalam sebuah bus penghantar masa depanku.

* * *
Kini aku telah bersanding dengan pria berjaket merah itu. Merajut cinta dalam kehalalan. Aku bahagia dalam ibadahku. Peristiwa masa lalu menjadikan cinta baru atas dasar cintaku kepada Tuhan.
Aku memeluk Alan yang telah menjadi kekasih halalku, “Aku pernah berpikir, pertemuan singkat kita kala itu adalah sebuah cerita singkat yang tinggallah sebuah kata-kata. Ternyata Tuhan berkata lain. Pertemuan itu adalah awalku bersanding dengan jodohku. Cinta pada pandangan pertama itu adalah untuk selamanya.”
“Itulah takdir Tuhan. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana takdir kita ke depannya. Maka dari itu, kita harus selalu berbaik sangka kepada Tuhan.”
“Iya. Aku bersyukur Tuhan telah menganugerahkan dirimu untuk diriku. Dengan kesederhanaan hati yang ku miliki ini, aku ingin memberikan seluruh cintaku kepada Tuhan dengan sempurna, salah satunya adalah melalui caraku untuk menjadi istri soleha bagi dirimu.”
Dari kota Sukabumi, aku mendapatkan kehalalan cintaku. Kini aku mampu tersenyum berada dalam dekapan Alan. Sukabumi adalah tempat yang menjadi saksi awal pertemuanku dengan pria berjaket merah itu. Alan telah mengobarkan semangat cinta dalam hatiku dan menghangatkan setiap dinginnya perasaanku.
Sukabumi kini tidak lagi menjabat status sebagai kota khayalanku. Sukabumi adalah kota jodohku, bukan hanya sekedar jodoh impian, tapi juga takdir jodoh dalam hidupku untuk dunia dan akhirat nanti. Sukabumi adalah kota yang menyimpan benih-benih masa depanku yang berilmu dan bercinta.

Selasa, 18 Juni 2013

Lagu-Lagu Kenangan Ketika Perpisahan Sekolah

Terima Kasihku Guruku

Terima kasihku ku ucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna slalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti

Setiap hariku dibimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku
Kan ku ingat slalu nasihat guruku
Trima kasihku guruku 




Guruku Tersayang

Pagiku cerahku
Matahari bersinar
Ku gendong tas merahku di pundak

Selamat pagi semua
Ku nantikan dirimu
Di depan kelasmu
Menantikan kami

Guruku tersayang
Guru tercinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis
Mengerti banyak hal
Guruku terima kasihku

Nyatanya diriku
Kadang buatmu marah
Namun s'gala maaf
Kau berikan



Sapu Nyere Pegat Simpai

Ririungan urang karumpul
Meungpeung deukeut hayu urang sosonoan
Pacangkrama hari ngawadul
Urang silih tempas silih aledan

Moal lila jeung babaturan
Hiji wanci anu geus ditangtukeun
Bakal pisah bakal pajauh
Bakal mopohokeun, ka tineung urang

Sapu nyere pegat simpai,bakal kasorang
Takdir gusti hyang widi pasti kalakon
Urang rek papisah urang rek pajauh
Meungpeung deukut hayu rang sosonoan

Senin, 17 Juni 2013

Perpisahan RA/TKA/TPA

Hari kemarin adalah hari perpisahan RA/TKA/TPA tempat ade dan 2 keponakanku belajar. Ade dan 2 keponakanku begitu berantusias menyambut acara itu. Sebelum shubuh, keponakanku yang bernama Thoriq sudah bangun. Setelah mandi, dia langsung pergi ke luar entah ke mana, padahal hari masih gelap. Awalnya aku dan mama menyangka kalau dia akan langsung ke tempat acaranya. Ternyata dugaan kami salah, dia pergi ke mesjid untuk shalat shubuh berjamaah. Selesai shalat, dia langsung pergi ke rumah temannya dan menuju tempat acara bersama teman-temannya.

keponakanku yang masih tidur (Muhammad Thoriq Mulki Maulana)

Aku sebagai kakak dan bebe mereka merasa bangga. Mereka sudah mulai berani tampil di panggung. Aku tidak sabar melihat penampilan mereka. Bahkan adeku pun yang bernama Nadia, dari jam 6.00 sudah bersiap-siap memakai baju wisuda (ngedahuluin aku yang belum lulus kuliah L ). Walaupun Nadia belum saatnya keluar dari TPA, tapi dia sudah mengikuti ujiannya. Aku berharap tahun depan dia bisa menjadi murid terbaik, secara dia mengulang lagi satu tahun.

Ade kecilku, Nadia Nur Widiani

Sekitar  jam 7.00, aku dan mama meluncur, menyusul ade dan keponakanku yang sudah berada di tempat acara itu. Kami duduk di bangku yang telah disediakan oleh panitia, dan menunggu acara dimulai. Suasana di sana sudah sangat ramai oleh anak-anak dan orang tuanya. Tingkah anak-anak itu begitu menggemaskan, termasuk tingkah dari keponakanku. Acara belum dimulai, tapi panggung sudah penuh terisi oleh anak-anak.
Acara pun dimulai dengan sambutan dari berbagai pihak. Disusul dengan pembacaan ayat suci Al-Quran dari murid di sana. Kemudian acara yang paling inti adalah acara pelepasan wisudawan/wisudawati yang diiringi dengan upacara adat sunda. Lengser melenggak-lenggok menyambut para murid yang di wisuda, lalu pembawa payung berjalan dan menari bersama payungnya, setelah itu disusul dengan para penari adat yang juga ikut menyambut. Kemudian para wisudawan dan wisudawati berjalan di belakang kepala sekolah yang dipayungi dan melewati para penari yang menabur bunga di setiap jalan yang mereka lalui. Upacara adat tersebut sengaja dibuat sesimpel mungkin, karena upacara tersebut dilaksanakan oleh anak-anak kecil. Semua yang akan tampil di panggung pun adalah murid-murid di sana.

Upacara adat selesai dilaksanakan, saatnya pemberian ijazah di atas panggung. Satu persatu murid RA dan TPA yang diwisuda dipanggil ke atas panggung. Mereka dipanggil disebutkan namanya, tempat dan tanggal lahirnya, nama orang tuanya, dan cita-citanya. Cita-cita mereka beragam, namun kebanyakannya mereka memilih profesi dokter dan polisi. Namun berbeda dengan adikku, Nadia bercita-cita menjadi pengusaha. Jujur, aku ingin menangis di tengah keramaian itu. Adikku yang super bawel dan juga manja ingin menjadi pengusaha. Sedikit tertawa aku berdoa dalam hati, semoga saja cita-cita adikku itu bisa tercapai. Amiin.

Setelah acara inti selesai dilaksanakan, tiba saatnya untuk acara pementasan seni. Adikku yang akan tampil puitisasi bergegas untuk mengganti bajunya. Nadia dan keempat temannya berganti kostum dengan gamis berwarna putih. Aku memasangkan kerudung adikku juga teman-temannya itu. Sampai keponakanku, yang bernama Muhammad Thoriq Mulki Maulana, tampil di panggung, aku tidak melihatnya karena sibuk di dalam ruangan. Aku hanya bisa mendengarnya mengumandangkan adzan di atas panggung. Setiap tahun Thoriq selalu menjadi muadzin di TKA-nya. Waktu dia masih RA pun, dia mewakili RA-nya untuk mengikuti lomba adzan. Terkadang dia pun selalu adzan di mesjid jami di rumahku.

Adikku pun tampil puitisasi. Dia yang tomboi, sedari pagi dirias secantik mungkin. Dia ternyata memang cantik seperti kakaknya (ehem). Aku bangga melihat adikku berada di atas panggung. Aku harus bisa mengembangkan bakat-bakat yang dimiliki oleh adikku dan keponakan-keponakanku. Aku ingin mereka sukses. Aku ingin mereka menjadi kebanggaan untuk orang-orang di sekitarnya.

Aku pun bangga kepada keponakan kecilku, namanya Fachry. Kalau si kecil yang satu ini memang anaknya paling hyper aktif di antara yang lainnya. Badannya itu sangat terlihat indah kalau dilenggak-lenggokkan. Dia senam di atas panggung. Dasar anak kecil, dia dan satu temannya melepas sepatu ketika naik ke panggung. Tapi aku, mama, bapak, dan kakakku terhibur melihat dia di atas panggung. Sebelum naik ke panggung pun, dia ikut menari dan bernyanyi, melihat teman-temannya yang sedang tampil di atas panggung. Aku tahu, Fachry itu sangat pintar. Namun, terkadang dia suka agak malu-malu. Seandainya dia punya keberanian, aku ingin membimbing dia untuk mengikuti acara pencarian bakat anak kecil di salah satu stasiun TV. Karena dia itu pintar menari dan bernyanyi. Suaranya serak-serak basah, sangat cocok untuk menggantikan Cakra Khan (wuahaahahaa), dan setiap dia menari, tariannya selalu indah walaupun dia adalah anak laki-laki.

video keponakanku, Fachry Rizki Ilmi (posisinya berada di tengah, cari yang paling pendek)

Karena kami sudah mulai kelelahan, kami pun pulang ke rumah. Padahal tanpa kami ketahui, Fachry harus tampil sekali lagi untuk menyanyikan lagu bersama teman-teman RA-nya. Tapi ya sudahlah, dia juga terlihat sudah mulai capek.

Acara yang paling menyentuh adalah ketika adik dan keponakan-keponakanku tampil dan ketika anak-anak RA bernyanyi lagu Guruku Tersayang. Aku jadi ingat masa-masa perpisahan dulu. Ketika perpisahan SD, aku menjadi pengantin wanita di upacara adatnya dan membaca pidato dari perwakilan murid kelas 6 dan menyanyikan lagu Terima Kasih Guruku bersama teman-teman. Lalu ketika SMP, aku dan teman-teman sekelasku menyanyikan lagu sunda yang aku lupa lagu apa, juga menyanyikan lagu Terima Kasih Guruku. Dan ketika SMK, aku tidak ikut berpartisipasi untuk tampil. Tapi aku mulai merasa sedih, harus meninggalkan masa-masa sekolah dan teman-temanku. Aku pun harus bersiap diri untuk terjun ke kehidupan dunia yang sesungguhnya, yaitu menjadi masyarakat seutuhnya.


NB: untuk lagu-lagu kenangannya ntar aku share di post selanjutnya :)

Rabu, 12 Juni 2013

MOS & MOP SMAKZIE angkatan 2006-2007

Bagiku, masa-masa SMK tidak akan pernah terlupakan. Awalnya aku merasa sepi sendiri, karena dari kelasku saat kelas 3 SMP hanya aku yang melanjutkan sekolah ke SMK Negeri 1 Cianjur. Aku pernah dikepung oleh sobat-sobatku di SMP. Mereka bilang kalau aku tidak bisa memanfaatkan nilai UAN yang lumayan untuk bisa masuk ke SMA terpaforit di kotaku. Sampai mereka yang sudah pasti masuk ke SMA itu memarahiku karna cinta pertamaku di SMP tidak mempunyai nilai UAN yang cukup untuk melanjutkan sekolah ke SMA terpaforit itu dan aku masih menunggu pengumuman hasil tes masuk ke SMK. Aku pun membalas perkataan mereka, "Ini adalah keinginanku. Aku ingin menjadi seorang akuntan, jadi aku harus melanjutkan sekolah ke SMK dengan jurusan Akuntansi. Kalau saja nilaiku bisa ditukar dengannya, aku rela bertukar nilai dengannya. Asal dia bahagia bisa masuk ke sekolah paforitnya."

Aku harus mengikuti seleksi untuk bisa bersekolah di SMK. Seleksinya lumayan penuh perjuangan. Dari mulai tes tertulis, tes wawancara, dan tes bahasa Inggris. Aku sudah bertekad dalam hatiku. Aku harus masuk jurusan Akuntansi. Kalau pun aku tidak lolos seleksi di SMK Negeri, aku masih bisa bersekolah di sekolah lain dengan jurusan yang sangat aku idamkan.

Hingga aku dinyatakan lolos seleksi, aku bersyukur bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah yang telah aku idam-idamkan sejak lama. Aku mulai mengikuti MOS (Masa Orientasi Siswa) dan MOP (Masa Orientasi Program). Waktu itu, aku masih culun, sangat culun. Tapi aku beruntung, aku langsung mendapatkan seorang teman. Dia bernama @disyacha. Pertemuan kami dimulai ketika testing. Dia satu-satunya murid dari SMP Warung Kondang yang mengikuti testing bersama kami yang berasal dari SMPN 2 Cianjur. Ketika MOS kami selalu bersama. Baik suka dan duka selalu kami bagi (lebay, hehe). Beruntungnya kami ditempatkan di kelas yang sama sampai kelas 3.

Kembali lagi ke MOS dan MOP. Acara permulaan di sekolah itu membuat aku sedikit stress. Aku harus bangun pagi-pagi dan memakai atribut yang kurang gaul gitu. Aku memakai topi dari bongsang (tempat membawa telur), memakai rompi dari kardus, dan memakai papan nama dengan menggunakan nama penyakit. Entah kenapa aku memikirkan nama 'Disentri' untuk pakaianku. Menurutku nama itu sedikit keren, walaupun aku harus ditertawakan oleh orang lain karena disentri adalah penyakit yang berhubungan dengan perut.

Tapi kegiatan awal di sekolah itu, membuatku merasakan keceriaan. Apalagi ketika penutupan acara yang digelar di Perkemahan Mandala Kitri, Cibodas. Meskipun tempatnya dingin, aku cukup merasakan kehangatan dari kebersamaan yang timbul ketika di sana. Banyak sekali memori yang terjalin di sana. Tiga hari tiga malam itu adalah pengalaman yang terindah. Perjuangannya sungguh terasa ketika terjebak hujan ditempat sedingin itu.


perkumpulan para pejuang MOS MOP di aula sekolah




*I Miss you, All. Teman-teman Generasi Pelangi Smakzie ;)

BUKAN SURAT CINTA

Pada tanggal 12 Juni 1992 telah lahir anak-anak manusia dengan kesucian dalam diri mereka. Salah satunya adalah kamu. Kamu yang pernah mewarnai hidupku dalam jarak sekitar dua tahunan. Selama itu ada tawa dan banyak tangisan yang menghiasi jalan kehidupan ini. Mungkin kegalauanlah yang merajai kisah kita kala itu. Segala ego yang ku tumpahkan kepadamu menjadi berlian masa depan yang tak terduga sebelumnya. Segala salah yang ku cetak demi namamu adalah kesedihan bagi diriku dan bagi dirimu.

Meski hitam adalah jalan yang pernah kita tempuh, kesucian akan mengalahkan setiap tetesan amarah yang berlaku. Diriku, dirimu, dirinya, kita dan mereka, dilahirkan dalam kesucian. Seberapa besar pun noda yang mencipratinya, kita tetap pernah merasakan kesucian itu dan kita pun pasti bisa mencuci setiap noda dalam pikiran, hati dan diri kita seutuhnya.

Kini kita sama-sama tahu makna kehidupan dan makna kemurnian cinta. Kita memang ditakdirkan untuk bertatapan muka, membagi tawa dan menjalankan kisah yang menghujani batin. Lalu kita pun ditakdirkan untuk berpisah, karena mungkin kita memang tidak berjodoh. Walaupun sampai saat ini aku belum mengetahui takdir jodohku. Karena seperti yang selalu kamu katakan kepadaku bahwa jodoh itu hanya Tuhan yang tahu. Sekuat apapun hati meyakini tentang jodoh, kita tidak akan pernah tahu kenyataan waktu akan berbicara seperti apa tentang takdir jodoh kita itu.

Aku sadar, jodoh itu bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Kita pasti bertemu jodoh kita di dunia yang berbeda meski pun di dunia ini kita tidak berjodoh. Namun, entah kapan dan siapa jodoh yang sama-sama menantikan pertemuan itu. Tapi aku selalu yakin bahwa Tuhan telah mempersiapkan jodoh yang terbaik untuk kita dan menyimpannya sampai kita menemui waktu yang pas untuk saling berbagi dengannya.

Aku pun menyadari setiap takdir Tuhan untuk diriku dan dirimu. Inilah kenyataan hidup. Meski kita hidup di dunia yang sama, tapi alam hati kita berbeda. Namun aku bersyukur Tuhan telah menjadikan dirimu guru kehidupanku. Meski awalnya aku tidak bisa menerima kenyataan dan meski aku pernah sangat kecewa, tapi inilah kasih sayang Tuhan kepada kita. Semua ini terjadi agar kita menjadi manusia yang kuat, sabar dan tawakal, dan agar kita mengerti tentang arti cinta yang sesungguhnya.

Maaf, lewat tulisan ini aku tidak berniat untuk mengusik atau pun mengganggu kehidupanmu lagi. Aku hanya ingin meminta maaf atas sekian banyaknya.daftar kesalahan yang telah ku tulis di atas kertas kehidupanmu. Bagiku masa lalu itu hanyalah sebuah tulisan yang tidak akan pernah bergerak ataupun berjalan, bahkan tidak akan pernah hidup kembali.

Maaf, maaf, maaf, meski maaf tidak akan pernah merubah segalanya. Tapi aku yakin, ketulusan hatimu akan merubahnya. Aku tidak ingin memutuskan silaturahmi atau pun mendendam kepada sesama. Dari sini aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk siapapun, termasuk dirimu dan keluargamu yang tulus memberiku nafas kehidupan di perantauan.

Di hari ulang tahunmu, semoga setiap keinginanmu bisa tercapai. Semoga kamu selalu berbahagia dengan jodohmu. Semoga kamu bisa menjadi imam yang baik untuknya. Semoga kamu bisa menjadi teladan bagi sesama. Semoga hidupmu jauh lebih baik dalam lindungan Tuhan.

Lewat tulisan ini, aku ingin kamu tahu bahwa aku telah merelakan semua takdir yang telah terjadi. Aku tidak ingin ada lagi kata benci yang menghujani batin. Aku hanya ingin menjadi muslimah yang selalu ikhlas menerima kenyataan. Aku pun tidak akan lelah untuk meminta maaf, karna hanya itulah kata yang layak aku ucapkan kepadamu.

Selamat ulang tahun, teman. Selamat mendekati batas usiamu.



DIEBE HAS DIED, BUT FRIENDSHIP WILL NEVER DIE....
Bebe Ina Dina ~ Orindina :)

Senin, 10 Juni 2013

Pernikahan Sepupuku Part 2

     Well, mungkin ini adalah jarak yang cukup lama untuk melanjutkan cerita ini. Bercerita tentang pernikahan sepupuku dengan cinta monyetnya yang terukir tanggal 07 Mei 2013, aku merasa galau sendiri (ehem). Kenapa? Karna aku juga pengen menyusul saudaraku itu ke pelaminan. Tuhan mungkin sudah menuliskan jodoh untukku, tapi Tuhan belum menampakkannya untukku.
     Kegiatan di hari pernikahan sepupuku itu lumayan cukup melelahkan. Aku bangun sebelum subuh dan harus membantu persiapan sebelum acaranya dimulai. Aku pun tidak lupa dirias secantik mungkin. Aku dirias oleh seorang pria kemayu yang jauh lebih mahir dariku dalam dunia perdandanan.
     Acara resepsi pernikahannya pun digelar diiringi dengan musik sundaan yang menjadi awal pementasan organ pengisi acara. Dari acara ini aku bertemu dengan teman lamaku yang sengaja aku pinta bantuannya untuk menjadi pemotret acara pernikahan sepupuku itu. Aku pun bertemu banyak orang yang sudah terduga sebelumnya. Mereka adalah orang-orang dari masa laluku. Senang rasanya bertemu kembali dengan makhluk-makhluk Tuhan yang pernah mengisi kehidupan lampauku. Dimulai dari Miftah yang sudah membawa anak diperutnya, lalu supplier barang-barang di gudan waktu aku kerja di GSI, Teh Eri yang jg berbadan dua, dan masih banyak lagi.
    Waktu itu aku ingin sekali mempersembahkan sebuah lagu teruntuk sepupuku. Aku sudah mempersiapkan lagu A THOUSANDS YEARS milik Christina Peri, namun pemain organnya tidak hafal lagu yang ku suka itu. Aku pun bernyanyi lagu-lagu yang dihafal oleh pemain organnya. Aku bernyanyi bersama saudara-saudaraku di saat acara telah usai. Tak satupun orang yang menonton kami. Mungkin ini lebih baik karena suara kami tidak semerdu biduannya. Yang aku sayangkan, kenapa di setiap acara pernikahan selalu heboh dengan lagu dangdut, padahal aku tidak hafal semua lirik lagu dangdut. Hadeuh, jadi ngbuat aku minder untuk bernyanyi di acara pernikahan (memang suaraku tidak bagus juga, mungkin).
    But so far, di penghujung acara semua rasa berubah menjadi tawa dengan kehadiran rombongan teman-teman lamaku. Mereka datang bersama Mr. Yi, atasanku yang baik. Rasa kangen kepada mereka terobati dengan setiap tawa itu. Meski akhirnya aku harus bertemu dengan mantan pacarnya mantan pacarku (kalau bahasa Jermannya mah "Maru").
    Itulah sedikit cerita tentang perjalanan cinta monyet dari sepupuku yang imoet. Hmmh, aku jadi pengen cepet-cepet menikah :)



*untuk sepupuku, semoga menjadi keluarga yang samara (sakinah, mawadah, warahmah). Doaku selalu bersamamu, Maylinda & Cecep :)