Aku ingin marah
kepada Tuhan. Tuhan begitu tega membiarkanku dalam kondisi seperti ini. Aku
mencintainya, namun aku tak pernah tahu bagaimana perasaanya. Dengan mudahnya
Tuhan memperlihatkannya bermain kata dengan wanita lain. Seolah-olah dia mengabaikanku.
Tuhan begitu sering membuat skenario patah hati untukku lewat orang yang
kucintai. Sedangkan aku tak kuasa untuk berkata lagi kepadanya. Tuhan begitu
tega membiarkanku selalu tahu apa yang dilakukannya.
Aku benci dengan
keadaan ini. Padahal setiap waktu kusembah Tuhan, tapi kurasa Tuhan sedang tak
ingin bersahabat denganku. Tuhan lebih suka membiarkanku menangis daripada
tersenyum. Dan saat ini, Tuhan membiarkanku berada di dekatnya. Tapi kurasa
Tuhan hanya memberi harapan semu untukku.
Wajahnya begitu dekat
dalam pandangan. Sebelumnya aku tak pernah sedekat ini dengannya. Sama halnya
seperti orang lain yang sedang jatuh cinta, jantung ini berdetak lebih kencang.
Aku ingin sekali memandangnya lebih lama, tapi aku tak bisa. Wajahnya yang manis
terlalu menyejukkan. Hingga kupalingkan pandangan darinya.
Sekuat hati
kutahankan rasa. Sebuah rasa yang kupendam bertahun-tahun lamanya. Aku sungguh
mencintainya dan ingin kusampaikan rasa ini padanya. Tapi takdir menahan semua
kata. Rasa itu hanya bisa kusimpan dalam diam.
Dia begitu dekat.
Mempesona. Dan itu membuatku merasa hampa. Kebersamaan bersamanya hanyalah
sebuah luka. Karna aku tahu kebersamaan itu tak berlaku untuk hatiku yang
mencintanya.
“Mawar, aku sudah
menganggapmu sebagai adikku sendiri,” Zaky mengelus-elus kepalaku kemudian ia
merangkulku. “Aku selalu mendukungmu dan selalu mendoakan yang terbaik
untukmu.”
Aku hanya bisa
terdiam. Aku sudah tahu kalau dia hanya menganggapku sebagai adiknya. Tak
lebih. Padahal aku selalu berharap lebih kepadanya.
Pandanganku tertuju
ke hamparan tanaman teh. Aku tak ingin memandangnya. Cintaku seperti udara di
sekitar. Dingin. Cinta ini begitu dingin, karena hanya aku yang merasakannya.
Sementara matahari
mulai berpulang dan segera membiarkan malam menguasai bumi, aku masih saja
terdiam.
“Kamu tahu kenapa
daerah ini disebut gunung mas?” Zaky menggenggam tangan kananku.
“Entahlah.”
“Jawabannya, bisa
kamu lihat sendiri.”
“Hmmh, ketika
matahari tenggelam cahayanya menyorot hamparan teh di tempat ini?"
"Iya. Indah,
kan?"
Sunset di gunung mas memang indah.
Semua tanaman teh berubah menjadi hamparan emas. Tapi itu tak membuatku takjub.
Karena hatiku yang tak seindah sunset.
* * *
Tuhan,
dekatkanlah aku dengan pria yang kusayangi dalam hubungan halal yang Kau
restui. Dan dekatkanlah aku dengan orang-orang yang dekat dengan-Mu. Jadikanlah
aku seperti mereka.
Aku menuliskan
kata-kata itu di kertas. Kemudian kumasukkan kertas itu ke dalam botol bekas
air mineral. Begitu pun dengan Zaky. Ia menulis sesuatu di kertas. Namun kami
saling tak mengetahui harapan apa yang kami tuliskan. Setelah itu aku
melemparkan botol itu ke hamparan tanaman teh.
“Waktu sekolah, aku
sering main ke tempat ini bersama teman-teman. Kami biasanya menerobos tanaman
teh untuk sampai ke puncak. Sambil berjalan, sesekali kami berteriak,
melepaskan penat. Dan setelah sampai di puncak, kami menuliskan harapan. Yah,
seperti yang tadi kita lakukan.” ceritaku kepada Zaky.
Aku dan Zaky duduk di
tepi puncak sambil memandang mesjid At-Ta'awun. Gantole. Yah aku menyebut
tempat ini dengan nama Gantole. Tempat ini selalu membuatku merasa tenang. Aku
bisa melupakan masalah yang kuhadapi, walaupun hanya sejenak. Zaky memang tepat
membawaku ke puncak.
Dari atas sini aku
bisa melihat tanaman teh yang terhampar luas dan hilir mudik kendaraan tanpa
mendengar bisingnya. Menghirup udara yang begitu sejuk. Merasakan semilir
angin. Ah, aku merasa sangat tenang.
"Mawar,
sebenarnya aku masih ingin berdiam diri di sini, tapi sudah malam. Aku takut
orang tuamu mencarimu. Kita pulang sekarang, ya!"
"Iya."
Sebenarnya aku juga
masih ingin berdiam diri di sini. Tempat ini memang menenangkan, ditambah lagi
ada Zaky di sampingku. Aku tak ingin pulang.
* * *
Udara puncak semakin
terasa dingin. Kami melalui perjalanan ini dengan motor matik Zaky yang
berwarna hitam. Aku merasa bahagia walaupun terasa sangat terluka. Aku tak akan
melupakan kebersamaan yang singkat ini.
Zaky menghentikan
laju motornya. Kemudian ia berbalik ke arahku.
"Kamu pasti
kedinginan, kamu peluk aku saja!" Zaky menarik kedua tanganku hingga kedua
tanganku beradu di depan perutnya. Lalu ia melajukan lagi motornya.
Ah, sial! Detak
jantungku mulai berdetak lebih kencang lagi. Kupejamkan mata ini. Terasa sangat
hangat. Kucium wangi tubuhnya di balik jaket kulit hitam yang ia pakai. Aku tak
ingin melepaskan tangan ini. Aku ingin selamanya seperti ini.
“Aku
ingin bersamamu, Zaky. Bukan sebagai sahabat ataupun sebagai seorang adik, tapi
sebagai kekasihmu. Aku menginginkanmu. Dalam doa kusebut namamu. Yah, meski aku
ingin marah kepada Tuhan. Tapi pada akhirnya hanya kepada Tuhan aku meminta
keajaiban. Semoga saja ada keajaiban yang akan menyatukan kita. Semoga,” lirihku dalam hati.
Zaky kembali
menghentikan laju motornya. Kali ini dia berhenti di salah satu toko serba ada.
"Karena hari
kemarin kamu ulang tahun, aku ingin membelikanmu sesuatu. Kamu mau beli
apa?"
"Gak usah! Aku
tidak mau apa-apa."
"Ayolah!"
Zaky menarikku dan membawaku masuk ke toko itu. "Kamu tinggal ambil apa
saja yang kamu mau. Mau tas? Jam tangan? Atau baju? Ambil saja!"
Mataku mengitari toko
itu. Aku memang tak berharap dibelikan sesuatu olehnya. Aku hanya berharap dia
membalas cintaku.
Dan mataku tertuju
pada satu benda yang disimpan di etalase di belakang toko. Aku berjalan ke arah
etalase itu dan mengambilnya.
"Aku mau ini
saja!"
Zaky tersenyum,
"Iya. Lalu mau apa lagi?"
"Ini saja sudah
cukup buatku."
* * *
Setelah
berjalan-jalan bersama Zaky. Aku tak bisa tidur. Aku memikirkan kebersamaan
bersamanya. Sepertinya aku sudah tak ingin marah lagi kepada Tuhan.
Jarum jam menunjukkan
pukul 01.12 am. Aku masih belum bisa tidur. Kemudian kuambil air wudhu. Aku pun
memakai barang yang tadi dibelikan Zaky, mukena berwarna putih dan bermotif
bunga Mawar warna pink.
Aku sengaja memilih
mukena sebagai kado ulang tahun dari Zaky. Karena kalau sepatu hanya dipakai di
kaki, kalau baju hanya melindungi tubuhku ketika masih bisa dipakai, kalau jam
tangan hanya sebagai pengingat waktu sedangkan aku tahu waktu pasti akan
berhenti. Maka dari itu aku memilih mukena, karena agar aku selalu mengingat
Tuhan ketika aku mengingatnya dan agar kurasakan selalu kehadirannya dalam
setiap sujudku. Meski sudah pasti barang akan rusak, pun dengan mukena ini.
Tapi keberkahannya tak akan pernah sirna meskipun aku tak memakainya lagi.
Dalam sujudku malam
ini. Aku tak bisa memaksa takdir untuk berjalan sesuai dengan keinginanku. Aku
sadar, rencana Tuhan lebih indah. Aku tak bisa marah kepada Tuhan yang pada
kenyataannya Tuhan selalu menyayangi umatnya. Aku memang mencintainya, tapi
sudah seharusnya aku hanya berharap kepada Tuhan.
* * *
Seperti biasanya,
setiap sore aku duduk sendiri di bangku taman sambil membaca buku. Sejak dua
tahun yang lalu, aku sudah terbiasa menyendiri tanpa seorang pria. Lebih
tepatnya tanpa seorang kekasih. Sementara orang lain duduk di taman berduaan
bersama pasangannya, aku hanya ditemani buku.
Aku tak peduli lagi
dengan istilah pacaran. Apalagi pasca patah hati dua tahun yang lalu. Jikalau
aku ingin mempunyai pasangan, aku ingin langsung mendapatkan suami yang menjadi
imam bagi kehidupanku. Meski pada kenyataannya aku ingin Zaky menjadi
kekasihku, tapi sesungguhnya aku ingin menjadi kekasihnya yang halal.
"Mawar!"
bisik seseorang kepadaku.
Aku menoleh ke
arahnya, "Ilham!"
Ilham duduk di
sampingku. "Ini kado untukmu. Tak seberapa sih, tapi semoga saja kamu
suka," Ilham menyodorkan sekotak kado berukuran 15x20 cm yang dibungkus
dengan kertas kado bergambar bunga mawar warna pink.
"Terima
kasih!" aku menyimpan kadonya ke dalam tas.
"Aku sama Zaky
mau makan sop duren. Kamu mau ikut?"
"Zaky?"
"Iya,
Zaky!"
"Mana
Zaky?"
"Aku di belakang
kamu, adeku yang unyu tapi kadang nyebelin," kata Zaky sambil mencubit
kedua pipiku dari arah belakang.
"Aduh Zaky!
Pipiku sudah chubby, jangan ditarik lagi dong! Nanti pipiku makin kayak bakpau
aja!" aku melepaskan cubitan Zaky.
Ilham menertawakanku
dan Zaky. "Kalian kenapa, sih? Aku perhatikan kalian jarang banget akur.
Tapi aneh deh, padahal kalian kan suka saling curhat?!"
"Kemarin kita
akur, kok!"
"Kemarin?"
tanya Ilham keheranan.
Ups! Aku keceplosan
bilang kemarin. Untung saja keceplosanku tidak bablas sampai membahas
perjalananku bersama Zaky.
"Euh, iya kita
akur. Soalnya Zaky curhat masalah cewenya. Dia lagi galau. Jadi aku enggak
berani becandain dia." Aku terpaksa berbohong kepada Ilham. Karena kalau
Ilham tahu aku jalan berdua bersama Zaky ke puncak, Ilham pasti patah hati.
"Aku galau
karena kamu juga, Mawar," Zaky mencubit kedua pipiku lagi. "Abisnya
aku nungguin kamu jadian sama Ilham."
"Loh, kok
gitu?" aku berteriak di telinga Zaky.
"Aku sudah lama
dekat sama Ilham. Ilham ini sahabatku yang paling baik. Aku pasti senang kalau
kalian jadian."
Kring. Kring. Kring.
Ponselku berdering
tanda panggilan masuk. Mama. Mama meneleponku di saat yang tepat.
"Tunggu
sebentar, ya!" aku mengangkat telepon dari mama dan menghindar dari Zaky
dan Ilham.
Setelah beberapa
menit, aku pun kembali duduk di bangku taman. Aku duduk di antara Zaky dan
Ilham.
"Ilham, Zaky!
Maaf aku tidak bisa ikut bersama kalian. Mama menyuruhku untuk segera
pulang."
" Iya, Mawar.
Tidak apa-apa," jawab Ilham, lesu.
"Kamu pulangnya
diantar Ilham saja!" Zaky menepuk pundah Ilham.
"Aku pulang
sendiri saja. Aku duluan, ya!"
* * *
Aku terpaksa
berbohong kepada Zaky dan Ilham. Tadi sore mama tidak menyuruhku untuk segera
pulang, mama hanya titip dibelikan susu murni kalau aku pulang. Aku tidak bisa
jalan bersama Zaky dan Ilham secara berbarengan.
Aku mencintai Zaky,
tapi disaat yang sama Ilham mencintaku. Cintaku malah dibalas oleh sahabatnya.
Aku tidak bisa egois memaksa Zaky untuk mencintaku. Karena bila kita bersama,
aku akan merusak persahabatan yang dijalinnya selama belasan tahun bersama
Ilham.
Aku benar-benar menyerah kepada takdir.
Kupasrahkan takdir cintaku kepada Tuhan yang akan memutuskan. Aku percaya Tuhan
akan memberikan yang terbaik untukku.
Kalaupun Zaky sebenarnya membalas cintaku,
sangat kecil kemungkinannya untuk kita bersama. Kecuali Tuhan telah menuliskan
takdir cintaku harus bersama Zaky.
Kini lewat doa kurindukannya. Aku mencoba
mengikhlaskan cinta. Jika berjodoh, Tuhan pasti memudahkan segala urusanku
dengannya.
Zaky,
mukena ini akan selalu menjadi saksi cintaku kepadamu. Meskipun pada akhirnya
kita tak bersama dan kita tak bertemu lagi, aku akan selalu merasa bahwa kau
selalu mengiringi langkahku dalam setiap perjalanananku bersama Tuhan. Dan aku
akan ikhlas menerima apapun yang Tuhan putuskan. Aku mencintaimu, Zaky.