Jumat, 20 Juni 2014

Cerpen "Bunga Dua Daun"


Aku ingin marah kepada Tuhan. Tuhan begitu tega membiarkanku dalam kondisi seperti ini. Aku mencintainya, namun aku tak pernah tahu bagaimana perasaanya. Dengan mudahnya Tuhan memperlihatkannya bermain kata dengan wanita lain. Seolah-olah dia mengabaikanku. Tuhan begitu sering membuat skenario patah hati untukku lewat orang yang kucintai. Sedangkan aku tak kuasa untuk berkata lagi kepadanya. Tuhan begitu tega membiarkanku selalu tahu apa yang dilakukannya.
Aku benci dengan keadaan ini. Padahal setiap waktu kusembah Tuhan, tapi kurasa Tuhan sedang tak ingin bersahabat denganku. Tuhan lebih suka membiarkanku menangis daripada tersenyum. Dan saat ini, Tuhan membiarkanku berada di dekatnya. Tapi kurasa Tuhan hanya memberi harapan semu untukku.
Wajahnya begitu dekat dalam pandangan. Sebelumnya aku tak pernah sedekat ini dengannya. Sama halnya seperti orang lain yang sedang jatuh cinta, jantung ini berdetak lebih kencang. Aku ingin sekali memandangnya lebih lama, tapi aku tak bisa. Wajahnya yang manis terlalu menyejukkan. Hingga kupalingkan pandangan darinya.
Sekuat hati kutahankan rasa. Sebuah rasa yang kupendam bertahun-tahun lamanya. Aku sungguh mencintainya dan ingin kusampaikan rasa ini padanya. Tapi takdir menahan semua kata. Rasa itu hanya bisa kusimpan dalam diam.
Dia begitu dekat. Mempesona. Dan itu membuatku merasa hampa. Kebersamaan bersamanya hanyalah sebuah luka. Karna aku tahu kebersamaan itu tak berlaku untuk hatiku yang mencintanya.
“Mawar, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri,” Zaky mengelus-elus kepalaku kemudian ia merangkulku. “Aku selalu mendukungmu dan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.”
Aku hanya bisa terdiam. Aku sudah tahu kalau dia hanya menganggapku sebagai adiknya. Tak lebih. Padahal aku selalu berharap lebih kepadanya.
Pandanganku tertuju ke hamparan tanaman teh. Aku tak ingin memandangnya. Cintaku seperti udara di sekitar. Dingin. Cinta ini begitu dingin, karena hanya aku yang merasakannya.
Sementara matahari mulai berpulang dan segera membiarkan malam menguasai bumi, aku masih saja terdiam.
“Kamu tahu kenapa daerah ini disebut gunung mas?” Zaky menggenggam tangan kananku.
“Entahlah.”
“Jawabannya, bisa kamu lihat sendiri.”
“Hmmh, ketika matahari tenggelam cahayanya menyorot hamparan teh di tempat ini?"
"Iya. Indah, kan?"
Sunset di gunung mas memang indah. Semua tanaman teh berubah menjadi hamparan emas. Tapi itu tak membuatku takjub. Karena hatiku yang tak seindah sunset.

* * *

Tuhan, dekatkanlah aku dengan pria yang kusayangi dalam hubungan halal yang Kau restui. Dan dekatkanlah aku dengan orang-orang yang dekat dengan-Mu. Jadikanlah aku seperti mereka.
Aku menuliskan kata-kata itu di kertas. Kemudian kumasukkan kertas itu ke dalam botol bekas air mineral. Begitu pun dengan Zaky. Ia menulis sesuatu di kertas. Namun kami saling tak mengetahui harapan apa yang kami tuliskan. Setelah itu aku melemparkan botol itu ke hamparan tanaman teh.
“Waktu sekolah, aku sering main ke tempat ini bersama teman-teman. Kami biasanya menerobos tanaman teh untuk sampai ke puncak. Sambil berjalan, sesekali kami berteriak, melepaskan penat. Dan setelah sampai di puncak, kami menuliskan harapan. Yah, seperti yang tadi kita lakukan.” ceritaku kepada Zaky.
Aku dan Zaky duduk di tepi puncak sambil memandang mesjid At-Ta'awun. Gantole. Yah aku menyebut tempat ini dengan nama Gantole. Tempat ini selalu membuatku merasa tenang. Aku bisa melupakan masalah yang kuhadapi, walaupun hanya sejenak. Zaky memang tepat membawaku ke puncak.
Dari atas sini aku bisa melihat tanaman teh yang terhampar luas dan hilir mudik kendaraan tanpa mendengar bisingnya. Menghirup udara yang begitu sejuk. Merasakan semilir angin. Ah, aku merasa sangat tenang.
"Mawar, sebenarnya aku masih ingin berdiam diri di sini, tapi sudah malam. Aku takut orang tuamu mencarimu. Kita pulang sekarang, ya!"
"Iya."
Sebenarnya aku juga masih ingin berdiam diri di sini. Tempat ini memang menenangkan, ditambah lagi ada Zaky di sampingku. Aku tak ingin pulang.

* * *

Udara puncak semakin terasa dingin. Kami melalui perjalanan ini dengan motor matik Zaky yang berwarna hitam. Aku merasa bahagia walaupun terasa sangat terluka. Aku tak akan melupakan kebersamaan yang singkat ini.
Zaky menghentikan laju motornya. Kemudian ia berbalik ke arahku.
"Kamu pasti kedinginan, kamu peluk aku saja!" Zaky menarik kedua tanganku hingga kedua tanganku beradu di depan perutnya. Lalu ia melajukan lagi motornya.
Ah, sial! Detak jantungku mulai berdetak lebih kencang lagi. Kupejamkan mata ini. Terasa sangat hangat. Kucium wangi tubuhnya di balik jaket kulit hitam yang ia pakai. Aku tak ingin melepaskan tangan ini. Aku ingin selamanya seperti ini.
“Aku ingin bersamamu, Zaky. Bukan sebagai sahabat ataupun sebagai seorang adik, tapi sebagai kekasihmu. Aku menginginkanmu. Dalam doa kusebut namamu. Yah, meski aku ingin marah kepada Tuhan. Tapi pada akhirnya hanya kepada Tuhan aku meminta keajaiban. Semoga saja ada keajaiban yang akan menyatukan kita. Semoga,” lirihku dalam hati.
Zaky kembali menghentikan laju motornya. Kali ini dia berhenti di salah satu toko serba ada.
"Karena hari kemarin kamu ulang tahun, aku ingin membelikanmu sesuatu. Kamu mau beli apa?"
"Gak usah! Aku tidak mau apa-apa."
"Ayolah!" Zaky menarikku dan membawaku masuk ke toko itu. "Kamu tinggal ambil apa saja yang kamu mau. Mau tas? Jam tangan? Atau baju? Ambil saja!"
Mataku mengitari toko itu. Aku memang tak berharap dibelikan sesuatu olehnya. Aku hanya berharap dia membalas cintaku.
Dan mataku tertuju pada satu benda yang disimpan di etalase di belakang toko. Aku berjalan ke arah etalase itu dan mengambilnya.
"Aku mau ini saja!"
Zaky tersenyum, "Iya. Lalu mau apa lagi?"
"Ini saja sudah cukup buatku."

* * *

Setelah berjalan-jalan bersama Zaky. Aku tak bisa tidur. Aku memikirkan kebersamaan bersamanya. Sepertinya aku sudah tak ingin marah lagi kepada Tuhan.
Jarum jam menunjukkan pukul 01.12 am. Aku masih belum bisa tidur. Kemudian kuambil air wudhu. Aku pun memakai barang yang tadi dibelikan Zaky, mukena berwarna putih dan bermotif bunga Mawar warna pink.
Aku sengaja memilih mukena sebagai kado ulang tahun dari Zaky. Karena kalau sepatu hanya dipakai di kaki, kalau baju hanya melindungi tubuhku ketika masih bisa dipakai, kalau jam tangan hanya sebagai pengingat waktu sedangkan aku tahu waktu pasti akan berhenti. Maka dari itu aku memilih mukena, karena agar aku selalu mengingat Tuhan ketika aku mengingatnya dan agar kurasakan selalu kehadirannya dalam setiap sujudku. Meski sudah pasti barang akan rusak, pun dengan mukena ini. Tapi keberkahannya tak akan pernah sirna meskipun aku tak memakainya lagi.
Dalam sujudku malam ini. Aku tak bisa memaksa takdir untuk berjalan sesuai dengan keinginanku. Aku sadar, rencana Tuhan lebih indah. Aku tak bisa marah kepada Tuhan yang pada kenyataannya Tuhan selalu menyayangi umatnya. Aku memang mencintainya, tapi sudah seharusnya aku hanya berharap kepada Tuhan.

* * *

Seperti biasanya, setiap sore aku duduk sendiri di bangku taman sambil membaca buku. Sejak dua tahun yang lalu, aku sudah terbiasa menyendiri tanpa seorang pria. Lebih tepatnya tanpa seorang kekasih. Sementara orang lain duduk di taman berduaan bersama pasangannya, aku hanya ditemani buku.
Aku tak peduli lagi dengan istilah pacaran. Apalagi pasca patah hati dua tahun yang lalu. Jikalau aku ingin mempunyai pasangan, aku ingin langsung mendapatkan suami yang menjadi imam bagi kehidupanku. Meski pada kenyataannya aku ingin Zaky menjadi kekasihku, tapi sesungguhnya aku ingin menjadi kekasihnya yang halal.
"Mawar!" bisik seseorang kepadaku.
Aku menoleh ke arahnya, "Ilham!"
Ilham duduk di sampingku. "Ini kado untukmu. Tak seberapa sih, tapi semoga saja kamu suka," Ilham menyodorkan sekotak kado berukuran 15x20 cm yang dibungkus dengan kertas kado bergambar bunga mawar warna pink.
"Terima kasih!" aku menyimpan kadonya ke dalam tas.
"Aku sama Zaky mau makan sop duren. Kamu mau ikut?"
"Zaky?"
"Iya, Zaky!"
"Mana Zaky?"
"Aku di belakang kamu, adeku yang unyu tapi kadang nyebelin," kata Zaky sambil mencubit kedua pipiku dari arah belakang.
"Aduh Zaky! Pipiku sudah chubby, jangan ditarik lagi dong! Nanti pipiku makin kayak bakpau aja!" aku melepaskan cubitan Zaky.
Ilham menertawakanku dan Zaky. "Kalian kenapa, sih? Aku perhatikan kalian jarang banget akur. Tapi aneh deh, padahal kalian kan suka saling curhat?!"
"Kemarin kita akur, kok!"
"Kemarin?" tanya Ilham keheranan.
Ups! Aku keceplosan bilang kemarin. Untung saja keceplosanku tidak bablas sampai membahas perjalananku bersama Zaky.
"Euh, iya kita akur. Soalnya Zaky curhat masalah cewenya. Dia lagi galau. Jadi aku enggak berani becandain dia." Aku terpaksa berbohong kepada Ilham. Karena kalau Ilham tahu aku jalan berdua bersama Zaky ke puncak, Ilham pasti patah hati.
"Aku galau karena kamu juga, Mawar," Zaky mencubit kedua pipiku lagi. "Abisnya aku nungguin kamu jadian sama Ilham."
"Loh, kok gitu?" aku berteriak di telinga Zaky.
"Aku sudah lama dekat sama Ilham. Ilham ini sahabatku yang paling baik. Aku pasti senang kalau kalian jadian."
Kring. Kring. Kring.
Ponselku berdering tanda panggilan masuk. Mama. Mama meneleponku di saat yang tepat.
"Tunggu sebentar, ya!" aku mengangkat telepon dari mama dan menghindar dari Zaky dan Ilham.
Setelah beberapa menit, aku pun kembali duduk di bangku taman. Aku duduk di antara Zaky dan Ilham.
"Ilham, Zaky! Maaf aku tidak bisa ikut bersama kalian. Mama menyuruhku untuk segera pulang."
" Iya, Mawar. Tidak apa-apa," jawab Ilham, lesu.
"Kamu pulangnya diantar Ilham saja!" Zaky menepuk pundah Ilham.
"Aku pulang sendiri saja. Aku duluan, ya!"

* * *

Aku terpaksa berbohong kepada Zaky dan Ilham. Tadi sore mama tidak menyuruhku untuk segera pulang, mama hanya titip dibelikan susu murni kalau aku pulang. Aku tidak bisa jalan bersama Zaky dan Ilham secara berbarengan.
Aku mencintai Zaky, tapi disaat yang sama Ilham mencintaku. Cintaku malah dibalas oleh sahabatnya. Aku tidak bisa egois memaksa Zaky untuk mencintaku. Karena bila kita bersama, aku akan merusak persahabatan yang dijalinnya selama belasan tahun bersama Ilham.
 Aku benar-benar menyerah kepada takdir. Kupasrahkan takdir cintaku kepada Tuhan yang akan memutuskan. Aku percaya Tuhan akan memberikan yang terbaik untukku.
 Kalaupun Zaky sebenarnya membalas cintaku, sangat kecil kemungkinannya untuk kita bersama. Kecuali Tuhan telah menuliskan takdir cintaku harus bersama Zaky.
 Kini lewat doa kurindukannya. Aku mencoba mengikhlaskan cinta. Jika berjodoh, Tuhan pasti memudahkan segala urusanku dengannya.
Zaky, mukena ini akan selalu menjadi saksi cintaku kepadamu. Meskipun pada akhirnya kita tak bersama dan kita tak bertemu lagi, aku akan selalu merasa bahwa kau selalu mengiringi langkahku dalam setiap perjalanananku bersama Tuhan. Dan aku akan ikhlas menerima apapun yang Tuhan putuskan. Aku mencintaimu, Zaky.


Cerpen "Bunga Dua Daun" diadaptasi dari puisi "Bunga Dua Daun"

Selasa, 17 Juni 2014

Tentang Sebuah Keajaiban

Pernahkah kau merasa asing pada suatu tempat yang kau pijak hampir setiap hari. Bahkan tempat itu bagaikan rumah keduamu. Kau merasa beda seorang diri. Sementara yang lain masih saja mencercamu. Tapi kau masih saja terdiam dan menangis di belakang mereka. Kau selalu ingin menyerah tapi kau pun ingin terus berjuang.
Apa yang kau rasa begitu sangat berat. Karena kau harus menjadi orang lain. Lebih tepatnya kau harus bisa menjadi apapun. Tak jarang kau dimaki dan dicaci. Namun kau berusaha untuk tegar dan selalu kuat menjalani. Apapun yang terjadi, kau harus selalu tersenyum.
Kau pun berjalan dari masa lalu yang tak indah. Sebuah masa yang memperlakukanmu dengan kelam. Masa lalu yang membuatmu hampir saja mati karena kebodohan yang menjadi dasar putus asa. Negatif. Tak terpuji. Dan tentang semua yang tak baik.
Bahkan sebenarnya kau pun merangkak menuju tempat yang setidaknya sedikit lebih baik. Hingga kau menemukan satu celah kebahagiaan menuju impian. Kau masih saja harus mengelus dada dan mengucurkan air mata.
Hingga kau tahu apa yang kau rasakan saat itu sudah terbalaskan oleh Tuhan, meskipun kau tak mendendam. Kau masih saja merangkak. Kau buang jauh segala keinginan demi kebutuhan. Namun waktu mencintaimu jua. Apa yang kau inginkan perlahan-lahan diberikan oleh Tuhan. Dan air mata yang mengalir adalah kebahagiaan.
Keajaiban pun selalu datang memelukmu. Mencumbu waktu untuk impianmu. Apa yang terjadi saat ini berlainan dengan masa lalu. Kau bisa bangkit dan mulai berjalan. Apa yang kau dapat lebih dari harapan yang kau baca di masa lampau. Dari dasar menuju puncak. Meski belum mencapai puncak tertinggi.
Kau adalah wanita yang berusia muda. Kau selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk siapapun. Meski masih saja ada keluhan, tapi kau begitu kuat. Hidup ini memang tak mudah tapi tak sulit. Karena apa yang terjadi padamu, kau pasti bisa melaluinya. Tuhan lebih tahu apa yang harus terjadi pada hidup kita. Kita tinggal menjalani dan mensyukuri.