Judul novel : Rindu
Pengarang : Darwis Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2014
Tebal buku : 544 halaman
Sinopsis
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Buku ini menceritakan kisah tentang perjalanan yang
disertai pertanyaan-pertanyaan. Perjalanan tentang rombongan haji dari seluruh
penjuru Nusantara yang diangkut oleh kapal laut Blitar Holland. Dalam buku ini
ada lima kisah yang terjawab, di mana empat pertanyaan dijawab oleh seorang
ulama besar bernama Ahmad Karaeng, sedangkan satu pertanyaan dijawab oleh
seorang kelasi, Ambo Uleng.
Jawaban pertama adalah tentang kisah masa lalu Bonda
Upe yang merupakan guru mengaji anak-anak di kapal.
“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan
dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa
dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian kita. Peluk semua kisah itu. Berikan
dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasainya. Dengan kau
menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu,
dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.”
“Tentang penilaian orang lain, tentang cemas
diketahui orang lain siapa kau sebenarnya. Maka ketahuilah, Nak, saat kita
tertawa, hanyalah kita yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh
jadi, kita tertawa dalam seluruh kesedihan.orang lain hanya melihat wajah. Saat
menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau
tidak. Boleh jadi, kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain
hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain.”
“Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar itu
kehidupan kita. Tidak perlu siapapun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah
yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya
yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri
kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi
manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.”
“Kita tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun
bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri
sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap
kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah memang
kita sebaik itu.”
“Dan selalulah berbuat baik. Maka semoga besok lusa,
ada satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni.”
Jawaban kedua adalah tentang kebencian Daeng
Andipati yang merupakan orang kaya yang akan berangkat haji bersama istri dan kedua
putrinya.
“Kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat
membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi,
misalnya, apakah Allah langsung mengirim petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya
tidak. bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu banyak
kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung
menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan
Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham.”
“Ada orang-orang yang kita benci. Ada pula
orang-orang yang kita sukai. Hilir mudik datang dalam kehidupan kita. Tapi apakah
kita berhak membenci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan
petir segera? Misalnya pada Ayah kau, seolah tidak nampak hukuman di muka bumi
baginya. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi coba pikirkan hal ini. Pikirkan dalam-dalam,
kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita,
bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri. kita berkuasa penuh
mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi,
saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri.”
“Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan
persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat
atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas
kedamaian di dalam hati.”
Jawaban ketiga adalah tentang kisah cinta Mbah
Kakung dan Mbah Putri yang merupakan pasangan tua yang paling romantis di
kapal.
“Mulailah menerima takdir dengan lapang hati. Karena
kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah
bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir
bahkan basa-basi menyapapun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena
kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak
berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah
bersedia menerimanya, atau mendustakannya. Dan mulailah memahami kejadian dari
kacamata yang berbeda, agar lengkap.”
Jawaban keempat adalah tentang kisah Ambo Uleng,
kelasi yang berlayar karena ingin pergi sejauh mungkin dari cinta sejati yang
tidak bisa dimilikinya.
“Cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati
perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil
yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku
tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi
kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami
para pencinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya, tidak
bersedia.”
“Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta
sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat
yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu
bukan cinta sejatimu. Kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng
cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau,
siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di
muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang
terbaik yang dituliskan.”
“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau
patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena
harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri
sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri.
Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa ada orang
yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-nginjak
semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat bibit
tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman
baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang
berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering,
disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah dia
menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.”
“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum
tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan
dengan belajar dan senantiasa berbuat baik kepada siapapun. Maka teruslah
menjadi orang baik seperti itu. Insya Allah, besok lusa, Allah sendiri yang
akan menyingkapkan misteri takdirnya.”
“Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan
memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Kau
siap menghadapi kenyataan apa pun.”
Jawaban terakhir adalah tentang Ahmad Karaeng, Ulama
Masyhur yang ingin melumpuhkan penjajahan Belanda. Dan pertanyaan itu dijawab
oleh Ambo Uleng.
“Kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita
tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan dengan air mata dan darah. Melawan
dengan kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut
duri di kaki kita dengan itu. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit
memang, tapi harus dilakukan.”
Itulah lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang
kerinduan. Kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada
seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang
cinta sejati. Dan tentang kemunafikan.
Meskipun bukunya tebal tapi isinya tidak
membosankan. Setiap lembarnya membuat penasaran dan ending ceritanya tidak
mengecewakan. Selamat membaca. Selamat berlayar bersama kapal Blitar Holland
dalam perjalanan menuju tanah suci dengan cerita yang menakjubkan.
0 komentar:
Posting Komentar