Senin, 17 Agustus 2015

Review Buku "Rindu" karya Tere Liye





Judul novel     : Rindu
Pengarang      : Darwis Tere Liye
Penerbit         : Republika
Tahun terbit  : 2014
Tebal buku     : 544 halaman
Sinopsis
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”

Buku ini menceritakan kisah tentang perjalanan yang disertai pertanyaan-pertanyaan. Perjalanan tentang rombongan haji dari seluruh penjuru Nusantara yang diangkut oleh kapal laut Blitar Holland. Dalam buku ini ada lima kisah yang terjawab, di mana empat pertanyaan dijawab oleh seorang ulama besar bernama Ahmad Karaeng, sedangkan satu pertanyaan dijawab oleh seorang kelasi, Ambo Uleng.
Jawaban pertama adalah tentang kisah masa lalu Bonda Upe yang merupakan guru mengaji anak-anak di kapal.
“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasainya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.”
“Tentang penilaian orang lain, tentang cemas diketahui orang lain siapa kau sebenarnya. Maka ketahuilah, Nak, saat kita tertawa, hanyalah kita yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita tertawa dalam seluruh kesedihan.orang lain hanya melihat wajah. Saat menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi, kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain.”
“Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar itu kehidupan kita. Tidak perlu siapapun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.”
“Kita tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah memang kita sebaik itu.”
“Dan selalulah berbuat baik. Maka semoga besok lusa, ada satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni.”
Jawaban kedua adalah tentang kebencian Daeng Andipati yang merupakan orang kaya yang akan berangkat haji bersama istri dan kedua putrinya.
“Kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirim petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak. bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham.”
“Ada orang-orang yang kita benci. Ada pula orang-orang yang kita sukai. Hilir mudik datang dalam kehidupan kita. Tapi apakah kita berhak membenci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir segera? Misalnya pada Ayah kau, seolah tidak nampak hukuman di muka bumi baginya. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi coba pikirkan hal ini. Pikirkan dalam-dalam, kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri. kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri.”
“Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”
Jawaban ketiga adalah tentang kisah cinta Mbah Kakung dan Mbah Putri yang merupakan pasangan tua yang paling romantis di kapal.
“Mulailah menerima takdir dengan lapang hati. Karena kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa-basi menyapapun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya. Dan mulailah memahami kejadian dari kacamata yang berbeda, agar lengkap.”
Jawaban keempat adalah tentang kisah Ambo Uleng, kelasi yang berlayar karena ingin pergi sejauh mungkin dari cinta sejati yang tidak bisa dimilikinya.
“Cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami para pencinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.”
“Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”
“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa ada orang yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-nginjak semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat bibit tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering, disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah dia menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.”
“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar dan senantiasa berbuat baik kepada siapapun. Maka teruslah menjadi orang baik seperti itu. Insya Allah, besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirnya.”
“Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Kau siap menghadapi kenyataan apa pun.”
Jawaban terakhir adalah tentang Ahmad Karaeng, Ulama Masyhur yang ingin melumpuhkan penjajahan Belanda. Dan pertanyaan itu dijawab oleh Ambo Uleng.
“Kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan dengan air mata dan darah. Melawan dengan kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki kita dengan itu. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.”
Itulah lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan. Kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Dan tentang kemunafikan.

Meskipun bukunya tebal tapi isinya tidak membosankan. Setiap lembarnya membuat penasaran dan ending ceritanya tidak mengecewakan. Selamat membaca. Selamat berlayar bersama kapal Blitar Holland dalam perjalanan menuju tanah suci dengan cerita yang menakjubkan.

0 komentar: