Bus. Sebuah kendaraan yang selalu setia menemaniku
untuk menuntut ilmu. Setiap hari Selasa dan Rabu, ia selalu membawaku ke tempat
berilmu. Ia pun selalu menceritakan banyak hal kepadaku. Entah itu tentang
amarah atau tentang kesabaran.
Malam tadi saja ia memaksaku untuk menjadi orang
yang sabar. Ia tak melewati jalan yang lazim untuk dilalui. Dengan alasan
macet, ia berbelok ke arah kiri, menuju Salakaso. Belum terlalu jauh ia
berjalan, seorang polisi menghentikan lajunya. Karena memang kesalahan
pengemudi yang mengarahkannya berjalan di Jalur.
Aku mulai resah karena aku sedang memburu waktu
untuk sampai di kampus. Aku memberanikan diri bertanya-tanya kepada penumpang
lainnya, apakah ada angkot yang lewat jalan ini. Dan mereka menjawab ia. Saat
aku akan turun dari bus, seseorang menyapaku. Ternyata ia adalah temanku ketika
aku masih bekerja sebagai karyawan pabrik sepatu di Sukabumi. Karena sapaannya,
aku menghampirinya dan tidak jadi turun dari bus. Kita berdua duduk
berdampingan dan mulai bercerita.
Tak lama setelah perbincangan aku dengan wanita
itu, bus pun mulai jalan kembali. Entah apa yang dilakukan oleh petugas-petugas
bus kepada polisi itu. Aku hanya mendengar kalau polisi itu meminta SIM dan
STNK. Kemudian aku mendengar perkataan dari salah seorang petugas bus, katanya
enggak usah ribet, kasih uang saja. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang
terjadi dengan mereka. Aku hanya tahu kalau bus yang aku tumpangi kembali
melaju.
Aku pun tiba di kampus dan mulai mengerjakan soal
UAS sampai mata kuliah kedua. Sekitar pukul sembilan lebih, aku keluar dari
kampus dan kembali naik bus. Seperti biasa, setiap pulang kuliah aku selalu
naik bus terakhir.
Ada banyak cerita ketika aku naik bus terakhir ini.
Ia sudah hampir terisi penuh. Beberapa saat ketika ia akan melaju, seorang anak
sekolahan yang masih berseragam putih abu turun dari bus. Awalnya aku tidak
tahu anak itu akan pergi ke mana. Namun teman-temannya yang duduk di belakangku
terus berkicau. Mereka takut kalau temannya itu akan ketinggalan bus. Kemudian salah
satu temannya berbicara kepada sopir bus agar menunggu temannya itu. Anak itu
berusaha untuk mencari temannya, namun tak berhasil. Temannya itu entah di
mana. Usahanya tak berhenti sampai di situ, ia mencoba mencarinya lagi.
Di saat kami yang berada di dalam bus menunggu dua
anak sekolah itu yang entah pergi ke mana. Ada orang yang marah-marah di luar bus.
Ia meminta agar bus segera berangkat. Tapi sopir dan kondekturnya masih
menunggu dua anak sekolahan.
Kondektur itu berbicara kepada calo-calo di dekat tempat pemberhentian bus, “Kalau mau protes
jangan sama kita! Protes saja sama pengurus di terminal! Biasanya juga kita
berangkat sekitar jam sepuluh kurang dan sekarang masih jam setengah sepuluh.”
Sopir bus itu nampak terusik oleh keributan yang
ditimbulkan oleh calo-calo itu. Ia pun
mulai menjalankan busnya.
Namun kondektur itu mulai berbicara kembali, “Tidak
usah mendengar omongan mereka! Mereka cuma calo
yang tidak punya keberanian. Karena kalau mereka berani, mereka tidak akan
menjadi calo tapi menjadi garong.”
Yap. Ada benarnya juga apa yang dikatakan kondektur
itu.
Sementara anak-anak sekolah yang duduk di dalam
mobil mencemaskan dua temannya. Akhirnya mereka merasa tenang karena dua anak
itu telah kembali dan mulai duduk di bus. Ternyata anak sekolah itu sudah dari toilet. Bus
pun mulai melaju kembali.
Aku merasa salut kepada anak –anak itu. Mereka memiliki
solidaritas yang tinggi satu sama lain. Di saat satu temannya tak bersama
mereka, mereka merasa cemas dan khawatir. Mereka pergi tes kerja
bersama-bersama, pulangnya pun harus utuh bersama-sama kembali.
Dan perjalananku malam ini tidak semulus yang
dibayangkan. Tepatnya di daerah Cirumput, kendaraan-kendaraan mulai mengantri
dan berjalan pelahan karena macet. Setelah ditelusuri, penyebab macetnya jalan
karena ada toronton mogok.
Bus masih berjalan dengan perlahan. Kami belum
terbebas dari kemacetan. Terdengar kondektur bus sedang berceramah kepada
anak-anak sekolahan karena hanya membayar ongkos Rp 3.000,- dari ongkos normal
sebesar Rp 8.000,-.
Otomatis kondektur itu merasa dirugikan karena
jumlah anak sekolah yang naik bus itu sekitar 13 orang. “Sekolah itu harus bisa
menguntungkan orang lain, bukannya malah merugikan,” kondektur itu berbicara
dengan nada yang tinggi.
Anak-anak sekolahan itu cuma terdiam. Sedangkan aku
meresapi setiap kata yang diucapkan oleh kondektur itu. Memang begitu
seharusnya. Kita sekolah bukan untuk merugikan orang lain, tapi untuk
menguntungkan. Dengan kata lain kita harus bisa menjadi orang yang bermanfaat
bagi orang lain. Mungkin begitu maksud kondektur itu.
Biasanya aku kurang suka dengan kondektur bus yang
curang. Apa lagi ketika bus terakhir. Mereka selalu mencari kesempatan untuk
memungut ongkos lebih besar dari biasanya. Tapi kali ini berbeda. Kondektur bus
ini begitu bijak. Dari awal ia berdebat dengan calo yang egois itu, ia berpikir kalau ia berangkat lebih awal dari
waktu biasanya, ia kasihan kepada penumpang bus lainnya yang tertinggal.
Aku sebagai seorang penumpang yang sering naik bus
terakhir, akhirnya setuju dengan kondektur itu. Memang ia, ketika kampusku
masih di Brawijaya. Setiap pulang kuliah aku selalu dianterin temanku untuk mengejar
bus terakhir. Betapa kecewanya aku ketika sudah dibawa kebut-kebutan naik motor
oleh teman, dan setelah sampai pintu Hack,
busnya sudah tidak ada. Kadang kalau sudah tidak ada bus, aku selalu menginap
di rumah temanku. Dan aku pulang ke Cianjur lagi di waktu Subuh karena harus
bekerja. Memang sungguh melelahkan, sih.
Yah segitu dulu cerita tentang perjalananku di bus
tadi malam. Masih banyak cerita lainnya yang belum aku tulis. Beginilah nasib
seorang mahasiswi kelas karyawan yang harus kuliah malam di luar kota. Tapi aku
tidak merasa kecewa, karena harus selalu pulang malam. Meskipun harus melawan
hujan dan angin, aku tidak peduli. Karena tidak ada yang rugi dalam perjuangan
menuntut ilmu.