Senin, 20 Januari 2014

[Review] Anak Kampus: Catatan Perjuangan Mahasiswa Pas-pasan


 Judul                 : Anak Kampus
Penulis              : Aditya Bayu
Penerbit            : Checklist
Cetakan            : Pertama
Tebal Buku       : 246 halaman



Blurb:
Untuk membayar biaya pendaftaran ujian masuk universitas, gue harus menjual entok peliharaan gue, namanya Minti. Oh iya, kalian tahu entok, kan? Ya, entok adalah hewan sejenis bebek, tapi badannya lebih bahenol. Kalau jalan, pantatnya megal-megol kayak penyanyi dangdut.
Berat banget rasanya menjual Minti. Gue sudah lama melihara dia. Dulu dia gue temukan di selokan lagi sendirian. Sepertinya dia terpisah dari rombongannya. Dia terlihat bingung dan panik. Gue merasa kasihan, lalu segera mengambilnya dan memeliharanya. Gue membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Kalau gue bisa menyusui, mungkin dia sudah gue kasih ASI. Sekalian gue bikini adek supaya dia nggak kesepian
****

        Gokiiilll!! Kak Adit berhasil bikin aku ngakak sekaligus merenung. Kalau dia ada di dekatku, pengen aku timpuk dia pake bukunya sendiri. *serius.
       Lewat novel komedi pertamanya ini, ia menyampaikan banyak pesan yang disampaikan secara halus. Ia menyampaikan pepatah-pepatah yang tidak menggurui. Ia pun sangat berani untuk bercerita tentang hal-hal absurd. Salah satu contohnya adalah tentang Tragedi Kolor.
       Kalau dibaca sekilas, kita pasti penasaran dengan Tragedi Kolor itu. Awalnya ketika membaca Bab ini, aku agak sedikit jijik gituh. Sebenarnya ngapain nih orang ngomongin yang gituan? Setelah dibaca, aku baru paham kalau dia memang orang yang aneh, aneh dalam tanda kutip. Ia cukup kreatif, demi kesehatan ia rela melupakan kegengsiannya untuk menyatukan tiga kolornya menjadi sebuah slayer. Meski ceritanya disampaikan dengan lebay, tapi seru.
       Dari awal baca novel ini, aku terhanyut sama ceritanya. Seolah-olah aku lagi mendengarkan curhatan Kak Adit secara langsung. Aku tidak hanya dibuat tertawa oleh cerita-cerita absurdnya, tapi juga dibuat untuk merenung. Bagaimana perjuangan Kak Adit untuk merubah diri dari yang biasa menjadi tak biasa. Bagaimana ia bisa lulus kuliah dengan perjuangan dan pengorbanan. Pokoknya ceritanya sangat inspiratif.
       Novel ini cocok banget buat kalian yang ingin tertawa sambil mencari motivasi diri. Efek setelah membaca buku ini, aku jadi lebih semangat lagi dalam mengejar mimpi, gak gampang menyerah, dan selalu bersyukur. It’s a great story!


NB: Buat Kak @a_ditter, bukunya sudah sampai dengan selamat tadi siang. Terima kasih atas kirimannya. Sedikit cerita aja, gara-gara buku ini, aku menebarkan virus membaca di kantor. Tumben temen aku yang sudah berusia 40-an baca bukumu sambil bilang “RAME”, padahal biasanya kalau aku baca buku suka pada cuek. *cieee Kak Adit digemarin ibu-ibu :)

Sukses selalu deh, buat Kak Adit :)

               

Kamis, 16 Januari 2014

Ada Cerita dari Bus

Bus. Sebuah kendaraan yang selalu setia menemaniku untuk menuntut ilmu. Setiap hari Selasa dan Rabu, ia selalu membawaku ke tempat berilmu. Ia pun selalu menceritakan banyak hal kepadaku. Entah itu tentang amarah atau tentang kesabaran.
Malam tadi saja ia memaksaku untuk menjadi orang yang sabar. Ia tak melewati jalan yang lazim untuk dilalui. Dengan alasan macet, ia berbelok ke arah kiri, menuju Salakaso. Belum terlalu jauh ia berjalan, seorang polisi menghentikan lajunya. Karena memang kesalahan pengemudi yang mengarahkannya berjalan di Jalur.
Aku mulai resah karena aku sedang memburu waktu untuk sampai di kampus. Aku memberanikan diri bertanya-tanya kepada penumpang lainnya, apakah ada angkot yang lewat jalan ini. Dan mereka menjawab ia. Saat aku akan turun dari bus, seseorang menyapaku. Ternyata ia adalah temanku ketika aku masih bekerja sebagai karyawan pabrik sepatu di Sukabumi. Karena sapaannya, aku menghampirinya dan tidak jadi turun dari bus. Kita berdua duduk berdampingan dan mulai bercerita.
Tak lama setelah perbincangan aku dengan wanita itu, bus pun mulai jalan kembali. Entah apa yang dilakukan oleh petugas-petugas bus kepada polisi itu. Aku hanya mendengar kalau polisi itu meminta SIM dan STNK. Kemudian aku mendengar perkataan dari salah seorang petugas bus, katanya enggak usah ribet, kasih uang saja. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka. Aku hanya tahu kalau bus yang aku tumpangi kembali melaju.
Aku pun tiba di kampus dan mulai mengerjakan soal UAS sampai mata kuliah kedua. Sekitar pukul sembilan lebih, aku keluar dari kampus dan kembali naik bus. Seperti biasa, setiap pulang kuliah aku selalu naik bus terakhir.
Ada banyak cerita ketika aku naik bus terakhir ini. Ia sudah hampir terisi penuh. Beberapa saat ketika ia akan melaju, seorang anak sekolahan yang masih berseragam putih abu turun dari bus. Awalnya aku tidak tahu anak itu akan pergi ke mana. Namun teman-temannya yang duduk di belakangku terus berkicau. Mereka takut kalau temannya itu akan ketinggalan bus. Kemudian salah satu temannya berbicara kepada sopir bus agar menunggu temannya itu. Anak itu berusaha untuk mencari temannya, namun tak berhasil. Temannya itu entah di mana. Usahanya tak berhenti sampai di situ, ia mencoba mencarinya lagi.
Di saat kami yang berada di dalam bus menunggu dua anak sekolah itu yang entah pergi ke mana. Ada orang yang marah-marah di luar bus. Ia meminta agar bus segera berangkat. Tapi sopir dan kondekturnya masih menunggu dua anak sekolahan.
Kondektur itu berbicara kepada calo-calo di dekat tempat pemberhentian bus, “Kalau mau protes jangan sama kita! Protes saja sama pengurus di terminal! Biasanya juga kita berangkat sekitar jam sepuluh kurang dan sekarang masih jam setengah sepuluh.”
Sopir bus itu nampak terusik oleh keributan yang ditimbulkan oleh calo-calo itu. Ia pun mulai menjalankan busnya.
Namun kondektur itu mulai berbicara kembali, “Tidak usah mendengar omongan mereka! Mereka cuma calo yang tidak punya keberanian. Karena kalau mereka berani, mereka tidak akan menjadi calo tapi menjadi garong.”
Yap. Ada benarnya juga apa yang dikatakan kondektur itu.
Sementara anak-anak sekolah yang duduk di dalam mobil mencemaskan dua temannya. Akhirnya mereka merasa tenang karena dua anak itu telah kembali dan mulai duduk di bus.  Ternyata anak sekolah itu sudah dari toilet. Bus pun mulai melaju kembali.
Aku merasa salut kepada anak –anak itu. Mereka memiliki solidaritas yang tinggi satu sama lain. Di saat satu temannya tak bersama mereka, mereka merasa cemas dan khawatir. Mereka pergi tes kerja bersama-bersama, pulangnya pun harus utuh bersama-sama kembali.
Dan perjalananku malam ini tidak semulus yang dibayangkan. Tepatnya di daerah Cirumput, kendaraan-kendaraan mulai mengantri dan berjalan pelahan karena macet. Setelah ditelusuri, penyebab macetnya jalan karena ada toronton mogok.
Bus masih berjalan dengan perlahan. Kami belum terbebas dari kemacetan. Terdengar kondektur bus sedang berceramah kepada anak-anak sekolahan karena hanya membayar ongkos Rp 3.000,- dari ongkos normal sebesar Rp 8.000,-.
Otomatis kondektur itu merasa dirugikan karena jumlah anak sekolah yang naik bus itu sekitar 13 orang. “Sekolah itu harus bisa menguntungkan orang lain, bukannya malah merugikan,” kondektur itu berbicara dengan nada yang tinggi.
Anak-anak sekolahan itu cuma terdiam. Sedangkan aku meresapi setiap kata yang diucapkan oleh kondektur itu. Memang begitu seharusnya. Kita sekolah bukan untuk merugikan orang lain, tapi untuk menguntungkan. Dengan kata lain kita harus bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Mungkin begitu maksud kondektur itu.
Biasanya aku kurang suka dengan kondektur bus yang curang. Apa lagi ketika bus terakhir. Mereka selalu mencari kesempatan untuk memungut ongkos lebih besar dari biasanya. Tapi kali ini berbeda. Kondektur bus ini begitu bijak. Dari awal ia berdebat dengan calo yang egois itu, ia berpikir kalau ia berangkat lebih awal dari waktu biasanya, ia kasihan kepada penumpang bus lainnya yang tertinggal.
Aku sebagai seorang penumpang yang sering naik bus terakhir, akhirnya setuju dengan kondektur itu. Memang ia, ketika kampusku masih di Brawijaya. Setiap pulang kuliah aku selalu dianterin temanku untuk mengejar bus terakhir. Betapa kecewanya aku ketika sudah dibawa kebut-kebutan naik motor oleh teman, dan setelah sampai pintu Hack, busnya sudah tidak ada. Kadang kalau sudah tidak ada bus, aku selalu menginap di rumah temanku. Dan aku pulang ke Cianjur lagi di waktu Subuh karena harus bekerja. Memang sungguh melelahkan, sih.
Yah segitu dulu cerita tentang perjalananku di bus tadi malam. Masih banyak cerita lainnya yang belum aku tulis. Beginilah nasib seorang mahasiswi kelas karyawan yang harus kuliah malam di luar kota. Tapi aku tidak merasa kecewa, karena harus selalu pulang malam. Meskipun harus melawan hujan dan angin, aku tidak peduli. Karena tidak ada yang rugi dalam perjuangan menuntut ilmu.

Minggu, 05 Januari 2014

Aku dan Menulis



Yeah dan akhirnya aku kembali memenangkan lomba. Waktu tanggal 02 Januari 2014, aku mendapatkan kabar gembira. Ketika pulang kerja dan aku masih berdiam diri di angkot, aku menghidupkan paket data ponsel  yang memang selalu dimatikan dengan alasan menghemat baterai, aku mendapat pemberitahuan mention Twitter. Kemudian aku membuka twitter dan ternyata aku mendapatkan mention dari HW Prakoso (@hertantyo_dk) yang merupakan salah satu juri dari lomba cerpen #TeenLigi #UNSA. Aku merasa sangat bahagia bisa kembali memenangkan lomba.
Sesampainya di rumah, aku mendapati Mama yang baru pulang liburan dari Bogor. Aku langsung berteriak memanggil Mama dan memeluknya. Aku langsung menceritakan kebahagiaan yang aku dapatkan di awal tahun ini kepada Mama dan Bapa. Sambil membuka laptop dan mencoba melihat web divapress untuk meyakinkan kemenanganku, aku terus bercerita kepada Mama dan Bapa tentang apa yang kutulis.
      Alhamdulillah, aku melihat judul cerpen dan namaku berada di urutan ketiga. Namun pengumuman pemenang cerpen itu tidak diurutkan berdasarkan juara akan tetapi diurutkan berdasarkan abjad dari judul cerpen. Mama dan Bapa ikut merasakan kesenanganku. Bahkan Bapa lebih senang melihatku bermain dengan tulisan ketimbang bermain dengan angka yang selama ini menjadi pekerjaan tetapku.
            Aku sangat tidak menyangka bisa memenangkan lomba cerpen itu. Aku pun tidak tahu ketika aku masuk 30 besar di lomba itu. Aku memang menulis cerpen itu hanya untuk berbagi dengan sesama, bukan sekadar untuk memenangkan lombanya. Jadi aku jarang melihat update pemenang lomba, aku hanya tahu hasil akhir dari lombanya.
Untuk pertama kalinya cerpenku juara. Padahal waktu itu aku pernah mengikuti lomba yang serupa dan aku pernah gagal. Karena waktu awal tahun 2013, aku baru mencoba mengikuti lomba menulis. Entah apa yang ada di benakku, aku mencoba untuk menggapai passionku dalam menulis. Dan aku udah sering gagal dalam lomba menulis. Namun semua kegagalan tak membuatku menyerah. Aku berusaha untuk terus memperjuangkan passionku. Aku lebih sering membaca dan membeli buku, apalagi menulis, meski hanya menulis sebuah curhatan atau puisi. Pokoknya big thanks untuk Grup Untuk Sahabat dan Penerbit De Teens yang kayaknya adalah jodohku.
          Bahkan di akhir tahun dan awal tahun, meski aku dikelilingi banyak pekerjaan di kantor karena harus mengerjakan banyak laporan dan menghadapi audit dari Kantor Akuntan Publik dan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan, aku tetap semangat meluangkan waktu untuk menulis. Bagiku menulis itu bukan tentang sebuah passion, tapi juga tentang sebuah kepuasan. Bagaimana aku bisa menumpahkan semua yang kurasakan. Menulis bukanlah suatu beban, tapi menulis adalah penghapus beban. Menulis adalah pekerjaan yang paling membuatku bahagia dan merasa sangat nyaman dalam mengerjakannya. Aku bebas mengekspresikan diri lewat tulisan.
         Aku mulai mencintai tulisan sejak kelas VIII SMP. Ketika guru Bahasa Indonesia memberi tugas resensi buku dan sering memberi tugas untuk membuat karya ilmiah. Sampai kelas IX SMP, beliau selalu memberi tugas menulis dan mengajarkan Bahasa Indonesia dengan sangat baik. Sehingga membuat aku merasa bangga bisa menjadi muridnya. Beliau memang tegas, namun ketegasan beliau sangat memberi arti. Kini semua terasa ketika aku mulai beranjak dewasa. Apa yang telah beliau ajarkan begitu sangat bermanfaat. Aku ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada beliau, tapi itu tidak mungkin. Karena kini kami sudah berada di dunia yang berbeda. Aku hanya bisa berterima kasih kepada beliau lewat doa dan tahlil.
Dulu ketika masih sekolah, seorang murid pasti menyimpan rasa kesal kepada guru yang terlalu tegas, termasuk aku sendiri yang memandang sebelah mata ketegasannya. Kini aku merasakan sendiri manfaat dari ketegasan itu, semuanya beralasan. Ketegasan para guru itu adalah modal untuk masa depan. Apa yang mereka ajarkan pasti bermanfaat.
Kemudian ketika masuk SMK, aku kembali bertemu dengan guru Bahasa Indonesia yang paling ribet. Ijin ke toilet saja harus berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD. Dulu aku dan teman-teman menganggap beliau guru paling nyebelin, tapi sekarang anggapan tentang nyebelin itu berbalik kepada diriku sendiri. Kenapa dulu aku berpikiran seperti itu, padahal pada akhirnya semua itu memberikan manfaat yang besar.
Banyak sekali kisah tentang guru-guru Bahasa Indonesia yang pernah mengajarku. Termasuk ketika aku kelas XII SMK. Kata temanku, guru Bahasa Indonesia jadi sering nongkrong di kelas kita gara-gara aku yang senang pelajaran Bahasa Indonesia. Pertama karena nilaiku yang selalu bagus ketika Ulangan, bahkan aku pernah mendapat nilai sempurna, nilai seratus karena soal yang diberikan adalah tentang menulis. Kedua, setiap ada tugas, aku selalu menjadi orang pertama yang menyelesaikannnya, bahkan waktu itu ketika ada tugas membuat puisi menggunakan sepuluh majas dan satu majas untuk satu puisi, cuma aku yang telah menyelesaikan tugas hari itu juga dan yang lainnya menyelesaikan tugas dalam waktu satu minggu.
Walaupun kini sudah berbeda keadaannya. Karena waktu dulu aku bisa menulis satu cerita dalam waktu dua jam, itupun sambil menonton televisi, berbeda dengan sekarang yang butuh waktu satu sampai dua hari untuk satu cerita.  Namun semangatku untuk menulis, kini lebih menggebu. Aku lebih bersemangat untuk berbagi lewat tulisan. Aku harus menempuh perjalanan yang tidak mulus untuk mengejar passionku dalam menulis. Semuanya butuh waktu dan proses.


NB: Rest in Peace for Pak Syamsul Arifin (Guru Bahasa Indonesia SMP)

Rabu, 01 Januari 2014

Happy New Year and Welcome 2014!!!


Hidup itu terkadang penuh dengan impian. Terkadang bagi sang pemimpi sepertiku, mungkin saja semua harapan dan semua keinginan hanyalah sebuah mimpi. Namun Tuhan berkata lain. Mimpiku kini secara perlahan berjalan ke arahku. Salah satunya adalah mimpi untuk menjadi seorang akuntan. Saat ini aku bekerja sebagai seorang bankir pada salah satu BPR swasta di Cianjur. Aku bersyukur bisa bekerja di tempat ini. Meskipun rintangan kerap kali hampir membuatku menyerah. Namun aku selalu bisa berjalan seiring dengan mimpiku. Dengan pekerjaan yang aku jalani saat ini, aku bisa belajar banyak hal. Aku belajar tentang dunia perbankan dan akuntansi. Di tempat ini aku belajar tentang karirku. Bukan hanya tentang itu, aku juga belajar bagaimana aku harus menyikapi kehidupan. Semua masalah memang membuatku menjadi lebih kuat. Walau kadang aku masih meneteskan air mata, namun aku harus bisa menjadikan air mata itu sebagai suatu semangat dan menjadi alasanku untuk berhenti menangis karena kekecewaan di masa depan.
Kemudian tekadku untuk menjadi seorang penulis semakin kuat disaat tulisanku diapresiasi orang lain. Pada bulan Maret 2013 lalu aku membuat blog dan mulai membiasakan diri untuk menulis. Meski aku masih suka malas menulis namun aku berusaha untuk menulis malas seperti kata idolaku, Raditya Dika. Aku mulai sering membaca, baik itu buku, blog atau yang lainnya. Aku mulai masuk ke dunia tulisan yang menurutku dunia yang bisa kuatur sendiri. Dengan menulis aku bisa menciptakan dunia yang kuinginkan dan aku bisa berbagi dengan sesama.
Mungkin dari dua paragraf di atas banyak kata yang telah kuucapkan di masa lalu. Karena begitulah hidup, tak bisa terlepas dari masa lalu. Namun aku pun tak ingin terjerat masa lalu, dan aku sedang tidak berusaha untuk mengubur masa lalu. Aku hanya ingin menjadikan masa lalu sebagai motivasi di masa depan. Aku memang mempunyai masa lalu yang sangat tidak menyenangkan, namun masa lalu itu menjadi indah ketika aku mampu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Dari tahun ke tahun aku memang belum pernah membuat resolusi dan kini aku bertekad dalam diri untuk mencapai semua mimpi. Dan mimpiku di tahun 2014 adalah :
1.       Memenangkan lomba novel yang berhadiah umrah
2.       Menghadiahkan umrah untuk Bapa
3.       Membangun rumah
4.       Membuat buku yang berkualitas, bermanfaat, dan berguna bagi seluruh umat
5.       Membahagiakan orang tua, keluarga dan orang yang aku sayangi dan menyayangiku
6.       Menjadi pribadi yang dewasa dan lebih baik lagi
7.       Banyak membaca dan menulis
8.       Rajin kuliah dan bekerja (karna tahun 2013 banyak bolosnya)
9.       Dan lain-lain (yang masih belum kepikiran saat ini)
Dan doaku di tahun baru ini cukup simpel, aku hanya ingin menjadi pribadi yang lebih baik dan bernanfaat bagi sesama. Dulu aku pernah benci sama orang yang cuma bisa manfaatin aku. Tapi sekarang pikiranku berbeda. Aku rela dimanfaatin orang asal pemanfaatan diriku adalah hal yang positif, bisa membuat orang bahagia.
And my quote in 2014 is “Just do it!!! Keep spirit and smile!!! :) :)