Yeah dan
akhirnya aku kembali memenangkan lomba. Waktu tanggal 02 Januari 2014, aku
mendapatkan kabar gembira. Ketika pulang kerja dan aku masih berdiam diri di angkot,
aku menghidupkan paket data ponsel yang memang
selalu dimatikan dengan alasan menghemat baterai, aku mendapat pemberitahuan mention Twitter. Kemudian aku membuka twitter
dan ternyata aku mendapatkan mention dari
HW Prakoso (@hertantyo_dk) yang merupakan salah satu juri dari lomba cerpen
#TeenLigi #UNSA. Aku merasa sangat bahagia bisa kembali memenangkan lomba.
Sesampainya di
rumah, aku mendapati Mama yang baru pulang liburan dari Bogor. Aku langsung
berteriak memanggil Mama dan memeluknya. Aku langsung menceritakan kebahagiaan
yang aku dapatkan di awal tahun ini kepada Mama dan Bapa. Sambil membuka laptop
dan mencoba melihat web divapress untuk meyakinkan kemenanganku, aku terus
bercerita kepada Mama dan Bapa tentang apa yang kutulis.
Alhamdulillah,
aku melihat judul cerpen dan namaku berada di urutan ketiga. Namun pengumuman
pemenang cerpen itu tidak diurutkan berdasarkan juara akan tetapi diurutkan
berdasarkan abjad dari judul cerpen. Mama dan Bapa ikut merasakan kesenanganku.
Bahkan Bapa lebih senang melihatku bermain dengan tulisan ketimbang bermain
dengan angka yang selama ini menjadi pekerjaan tetapku.
Aku
sangat tidak menyangka bisa memenangkan lomba cerpen itu. Aku pun tidak tahu
ketika aku masuk 30 besar di lomba itu. Aku memang menulis cerpen itu hanya
untuk berbagi dengan sesama, bukan sekadar untuk memenangkan lombanya. Jadi aku
jarang melihat update pemenang lomba, aku hanya tahu hasil akhir dari lombanya.
Untuk pertama
kalinya cerpenku juara. Padahal waktu itu aku pernah mengikuti lomba yang
serupa dan aku pernah gagal. Karena waktu awal tahun 2013, aku baru mencoba
mengikuti lomba menulis. Entah apa yang ada di benakku, aku mencoba untuk
menggapai passionku dalam menulis. Dan aku udah sering gagal dalam lomba
menulis. Namun semua kegagalan tak membuatku menyerah. Aku berusaha untuk terus
memperjuangkan passionku. Aku lebih sering membaca dan membeli buku, apalagi
menulis, meski hanya menulis sebuah curhatan atau puisi. Pokoknya big thanks untuk Grup Untuk Sahabat dan
Penerbit De Teens yang kayaknya adalah jodohku.
Bahkan
di akhir tahun dan awal tahun, meski aku dikelilingi banyak pekerjaan di kantor
karena harus mengerjakan banyak laporan dan menghadapi audit dari Kantor
Akuntan Publik dan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan, aku tetap
semangat meluangkan waktu untuk menulis. Bagiku menulis itu bukan tentang
sebuah passion, tapi juga tentang sebuah kepuasan. Bagaimana aku bisa
menumpahkan semua yang kurasakan. Menulis bukanlah suatu beban, tapi menulis
adalah penghapus beban. Menulis adalah pekerjaan yang paling membuatku bahagia
dan merasa sangat nyaman dalam mengerjakannya. Aku bebas mengekspresikan diri
lewat tulisan.
Aku
mulai mencintai tulisan sejak kelas VIII SMP. Ketika guru Bahasa Indonesia memberi
tugas resensi buku dan sering memberi tugas untuk membuat karya ilmiah. Sampai
kelas IX SMP, beliau selalu memberi tugas menulis dan mengajarkan Bahasa
Indonesia dengan sangat baik. Sehingga membuat aku merasa bangga bisa menjadi
muridnya. Beliau memang tegas, namun ketegasan beliau sangat memberi arti. Kini
semua terasa ketika aku mulai beranjak dewasa. Apa yang telah beliau ajarkan
begitu sangat bermanfaat. Aku ingin mengucapkan terima kasih secara langsung
kepada beliau, tapi itu tidak mungkin. Karena kini kami sudah berada di dunia
yang berbeda. Aku hanya bisa berterima kasih kepada beliau lewat doa dan tahlil.
Dulu ketika
masih sekolah, seorang murid pasti menyimpan rasa kesal kepada guru yang
terlalu tegas, termasuk aku sendiri yang memandang sebelah mata ketegasannya.
Kini aku merasakan sendiri manfaat dari ketegasan itu, semuanya beralasan.
Ketegasan para guru itu adalah modal untuk masa depan. Apa yang mereka ajarkan
pasti bermanfaat.
Kemudian ketika
masuk SMK, aku kembali bertemu dengan guru Bahasa Indonesia yang paling ribet.
Ijin ke toilet saja harus berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan
benar, yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD. Dulu aku dan
teman-teman menganggap beliau guru paling nyebelin, tapi sekarang anggapan
tentang nyebelin itu berbalik kepada diriku sendiri. Kenapa dulu aku berpikiran
seperti itu, padahal pada akhirnya semua itu memberikan manfaat yang besar.
Banyak sekali
kisah tentang guru-guru Bahasa Indonesia yang pernah mengajarku. Termasuk
ketika aku kelas XII SMK. Kata temanku, guru Bahasa Indonesia jadi sering nongkrong
di kelas kita gara-gara aku yang senang pelajaran Bahasa Indonesia. Pertama
karena nilaiku yang selalu bagus ketika Ulangan, bahkan aku pernah mendapat
nilai sempurna, nilai seratus karena soal yang diberikan adalah tentang
menulis. Kedua, setiap ada tugas, aku selalu menjadi orang pertama yang
menyelesaikannnya, bahkan waktu itu ketika ada tugas membuat puisi menggunakan
sepuluh majas dan satu majas untuk satu puisi, cuma aku yang telah
menyelesaikan tugas hari itu juga dan yang lainnya menyelesaikan tugas dalam
waktu satu minggu.
Walaupun kini
sudah berbeda keadaannya. Karena waktu dulu aku bisa menulis satu cerita dalam
waktu dua jam, itupun sambil menonton televisi, berbeda dengan sekarang yang
butuh waktu satu sampai dua hari untuk satu cerita. Namun semangatku untuk menulis, kini lebih
menggebu. Aku lebih bersemangat untuk berbagi lewat tulisan. Aku harus menempuh
perjalanan yang tidak mulus untuk mengejar passionku dalam menulis. Semuanya
butuh waktu dan proses.
NB: Rest in Peace for Pak Syamsul Arifin (Guru Bahasa Indonesia SMP)
0 komentar:
Posting Komentar