Kamis, 16 Januari 2014

Ada Cerita dari Bus

Bus. Sebuah kendaraan yang selalu setia menemaniku untuk menuntut ilmu. Setiap hari Selasa dan Rabu, ia selalu membawaku ke tempat berilmu. Ia pun selalu menceritakan banyak hal kepadaku. Entah itu tentang amarah atau tentang kesabaran.
Malam tadi saja ia memaksaku untuk menjadi orang yang sabar. Ia tak melewati jalan yang lazim untuk dilalui. Dengan alasan macet, ia berbelok ke arah kiri, menuju Salakaso. Belum terlalu jauh ia berjalan, seorang polisi menghentikan lajunya. Karena memang kesalahan pengemudi yang mengarahkannya berjalan di Jalur.
Aku mulai resah karena aku sedang memburu waktu untuk sampai di kampus. Aku memberanikan diri bertanya-tanya kepada penumpang lainnya, apakah ada angkot yang lewat jalan ini. Dan mereka menjawab ia. Saat aku akan turun dari bus, seseorang menyapaku. Ternyata ia adalah temanku ketika aku masih bekerja sebagai karyawan pabrik sepatu di Sukabumi. Karena sapaannya, aku menghampirinya dan tidak jadi turun dari bus. Kita berdua duduk berdampingan dan mulai bercerita.
Tak lama setelah perbincangan aku dengan wanita itu, bus pun mulai jalan kembali. Entah apa yang dilakukan oleh petugas-petugas bus kepada polisi itu. Aku hanya mendengar kalau polisi itu meminta SIM dan STNK. Kemudian aku mendengar perkataan dari salah seorang petugas bus, katanya enggak usah ribet, kasih uang saja. Setelah itu, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka. Aku hanya tahu kalau bus yang aku tumpangi kembali melaju.
Aku pun tiba di kampus dan mulai mengerjakan soal UAS sampai mata kuliah kedua. Sekitar pukul sembilan lebih, aku keluar dari kampus dan kembali naik bus. Seperti biasa, setiap pulang kuliah aku selalu naik bus terakhir.
Ada banyak cerita ketika aku naik bus terakhir ini. Ia sudah hampir terisi penuh. Beberapa saat ketika ia akan melaju, seorang anak sekolahan yang masih berseragam putih abu turun dari bus. Awalnya aku tidak tahu anak itu akan pergi ke mana. Namun teman-temannya yang duduk di belakangku terus berkicau. Mereka takut kalau temannya itu akan ketinggalan bus. Kemudian salah satu temannya berbicara kepada sopir bus agar menunggu temannya itu. Anak itu berusaha untuk mencari temannya, namun tak berhasil. Temannya itu entah di mana. Usahanya tak berhenti sampai di situ, ia mencoba mencarinya lagi.
Di saat kami yang berada di dalam bus menunggu dua anak sekolah itu yang entah pergi ke mana. Ada orang yang marah-marah di luar bus. Ia meminta agar bus segera berangkat. Tapi sopir dan kondekturnya masih menunggu dua anak sekolahan.
Kondektur itu berbicara kepada calo-calo di dekat tempat pemberhentian bus, “Kalau mau protes jangan sama kita! Protes saja sama pengurus di terminal! Biasanya juga kita berangkat sekitar jam sepuluh kurang dan sekarang masih jam setengah sepuluh.”
Sopir bus itu nampak terusik oleh keributan yang ditimbulkan oleh calo-calo itu. Ia pun mulai menjalankan busnya.
Namun kondektur itu mulai berbicara kembali, “Tidak usah mendengar omongan mereka! Mereka cuma calo yang tidak punya keberanian. Karena kalau mereka berani, mereka tidak akan menjadi calo tapi menjadi garong.”
Yap. Ada benarnya juga apa yang dikatakan kondektur itu.
Sementara anak-anak sekolah yang duduk di dalam mobil mencemaskan dua temannya. Akhirnya mereka merasa tenang karena dua anak itu telah kembali dan mulai duduk di bus.  Ternyata anak sekolah itu sudah dari toilet. Bus pun mulai melaju kembali.
Aku merasa salut kepada anak –anak itu. Mereka memiliki solidaritas yang tinggi satu sama lain. Di saat satu temannya tak bersama mereka, mereka merasa cemas dan khawatir. Mereka pergi tes kerja bersama-bersama, pulangnya pun harus utuh bersama-sama kembali.
Dan perjalananku malam ini tidak semulus yang dibayangkan. Tepatnya di daerah Cirumput, kendaraan-kendaraan mulai mengantri dan berjalan pelahan karena macet. Setelah ditelusuri, penyebab macetnya jalan karena ada toronton mogok.
Bus masih berjalan dengan perlahan. Kami belum terbebas dari kemacetan. Terdengar kondektur bus sedang berceramah kepada anak-anak sekolahan karena hanya membayar ongkos Rp 3.000,- dari ongkos normal sebesar Rp 8.000,-.
Otomatis kondektur itu merasa dirugikan karena jumlah anak sekolah yang naik bus itu sekitar 13 orang. “Sekolah itu harus bisa menguntungkan orang lain, bukannya malah merugikan,” kondektur itu berbicara dengan nada yang tinggi.
Anak-anak sekolahan itu cuma terdiam. Sedangkan aku meresapi setiap kata yang diucapkan oleh kondektur itu. Memang begitu seharusnya. Kita sekolah bukan untuk merugikan orang lain, tapi untuk menguntungkan. Dengan kata lain kita harus bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Mungkin begitu maksud kondektur itu.
Biasanya aku kurang suka dengan kondektur bus yang curang. Apa lagi ketika bus terakhir. Mereka selalu mencari kesempatan untuk memungut ongkos lebih besar dari biasanya. Tapi kali ini berbeda. Kondektur bus ini begitu bijak. Dari awal ia berdebat dengan calo yang egois itu, ia berpikir kalau ia berangkat lebih awal dari waktu biasanya, ia kasihan kepada penumpang bus lainnya yang tertinggal.
Aku sebagai seorang penumpang yang sering naik bus terakhir, akhirnya setuju dengan kondektur itu. Memang ia, ketika kampusku masih di Brawijaya. Setiap pulang kuliah aku selalu dianterin temanku untuk mengejar bus terakhir. Betapa kecewanya aku ketika sudah dibawa kebut-kebutan naik motor oleh teman, dan setelah sampai pintu Hack, busnya sudah tidak ada. Kadang kalau sudah tidak ada bus, aku selalu menginap di rumah temanku. Dan aku pulang ke Cianjur lagi di waktu Subuh karena harus bekerja. Memang sungguh melelahkan, sih.
Yah segitu dulu cerita tentang perjalananku di bus tadi malam. Masih banyak cerita lainnya yang belum aku tulis. Beginilah nasib seorang mahasiswi kelas karyawan yang harus kuliah malam di luar kota. Tapi aku tidak merasa kecewa, karena harus selalu pulang malam. Meskipun harus melawan hujan dan angin, aku tidak peduli. Karena tidak ada yang rugi dalam perjuangan menuntut ilmu.

0 komentar: