Malam ini bus kembali membawaku ke Sukabumi. Kunikmati setiap jalan yang dilalui. Jalan ini
adalah jalan kenangan. Ketika aku tenggelam dalam cinta seseorang yang kini tak
di sampingku lagi. Seseorang yang aku kira akan menjadi tempat terakhir
cintaku. Seseorang yang telah membuatku menjadi orang lain. Seseorang yang
merubah setiap langkah kehidupanku. Seseorang yang akhirnya memilih cinta lain
dalam hidupnya dan menghapus setiap cerita yang aku ukir dalam hatinya.
Aku sadar akan
setiap lembar kesalahan yang kutulis untuk dirinya. Kesadaran itu muncul ketika
dia menutup hatinya untukku. Begitu banyak daftar kesalahan yang kubuat ketika
dia menjadi kekasihku.
Namun semangatku
kembali muncul ketika aku memasuki ruangan di kampusku. Kini hanyalah cita-cita
yang terbenam di otakku. Aku harus bisa bangkit dari hitamnya masa lalu. Aku
harus mengukir setiap mimpi yang akan menjadi masa depanku.
Waktu
benar-benar telah menghapus bayangannya dari pikiranku. Aku telah mampu menyapu
setiap helai cintanya dalam hatiku dan aku telah siap membuka hati untuk orang
selain dirinya.
Dari mulai
sekarang, aku tidak boleh mengingatnya lagi dan aku harus fokus terhadap
cita-citaku. Meski senda gurau menghiasi kelas malam ini. Aku tetap harus
serius belajar dan meresapi setiap ilmu yang diberikan oleh dosen-dosenku.
Setelah melewati
dua mata kuliah malam ini, saatnya aku untuk kembali ke kotaku tercinta,
Cianjur. Aku berjalan dengan senyuman menuju tempat pemberhentian bus. Tanpa
ada ini itu, aku langsung naik bus yang sedang mejeng di dekat kampusku. Aku
duduk di bangku urutan keempat dari belakang sopir. Aku duduk manis dan
menyandar ke kursi.
Hari ini sangat
melelahkan tapi juga menyenangkan. Entah kenapa aku selalu merasakan kebebasan
hati ketika aku belajar di kampus. Hatiku selalu terasa damai menjalin
silaturahmi bersama teman-teman kuliahku.
Meskipun
Sukabumi pernah menyimpan kenangan burukku bersama seseorang, tapi aku selalu
merasa tenang bila terdiam di kota
ini. Aku tak pernah merasa galau atau pun risau ketika harus kembali ke kota ini. Begitu pun
dengan apa yang kurasakan saat ini, hatiku terasa sangat tentram. Kegiatanku
hari ini, dari mulai bekerja sampai kuliah malam, membuatku tertidur di dalam
bus yang masih diam ini.
Sampai bus
berjalan mengantarkanku pulang ke rumah, aku masih tertidur pulas.
“Neng, ongkos
Neng!” kata kondektur bus sambil menepuk-nepuk pundakku.
Dengan perlahan
aku membuka mata dan mengumpulkan nyawa yang baru saja melewati dunia mimpi.
Kemudian aku mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah dari saku dan memberikannya
kepada kondektur itu. Kondektur itu pun berlalu begitu saja.
“Mang, mana
kembaliannya?” teriakku kepada kondektur itu.
“Kembalian apa,
Neng?” balas kondektur itu yang masih menarik ongkos dari penumpang lainnya
yang duduk di bangku paling depan.
“Biasanya juga kalau dari Sukabumi ke Cianjur, ongkosnya cuma enam ribu!” aku mulai mengerang dan kesal.
“Ini bus
terakhir, Neng. Jadi ongkosnya beda.”
“Iya, biasanya
juga enam ribu. Kalau malam aku selalu naik bus terakhir, naik bus Sangkuriang
saja ongkosnya enam ribu,” aku semakin kesal kepada kondektur bus itu.
Kondektur bus
itu tidak menggubris perkataanku, ia malah menggerutu kepada sopir bus, “Da ieu mah lain beus Sangkuriang atuh!”
Kendektur bus itu berkata kalau bus ini bukan bus Sangkuriang.
“Biasanya enam
ribu, ya? Memang Teteh sudah dari mana?” tanya seorang pria yang duduk di
sampingku.
Tanpa
memperhatikan wajahnya aku membalas pertanyaannya, “Iya, biasanya juga enam
ribu. Setiap hari Selasa dan Rabu aku selalu pulang malam dan ongkosnya selalu
enam ribu.
“Memangnya Teteh
sudah dari mana?”
“Kuliah,”
jawabku singkat.
Lalu kami
terdiam dalam hening. Aku terdiam melirik pemandangan jalan di kala malam dari
balik jendela bus. Malam begitu sunyi, sesunyi hatiku setelah kepergian dia
yang dulu meramaikan hatiku.
Bus terus melaju
melewati jalanan yang mulai sepi dari pengunjung berkendaraan. Waktu terus
berdetik menghampiri malam dan kedinginan. Sedangkan aku terus termenung
memandang setiap kesepian malam itu. Aku hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan
akan nasib cintaku. Namun aku tetap yakin kalau Tuhan akan memberikan keindahan
cinta pada waktunya.
Mungkin sudah
saatnya aku kembali kepada Tuhan dan berhenti memikirkan cinta itu. Cinta yang
telah membutakan pikiran dan mata hatiku. Mungkin sudah saatnya aku kembali
kepada keteguhan imanku. Cinta kepada sesama hanya membuat hatiku lara. Tapi
cinta kepada Tuhan pasti selalu indah sekalipun jalan yang harus ditempuh tak
seindah harapan dan keinginan.
* * *
Pria di
sebelahku sungguh mengusik diamku. Dia terus tertawa kecil. Kemudian aku
melirik ke arahnya, pria itu sedang memotret ekspresi temannya yang sedang
tertidur di urutan bangku tetangga. Pria itu pun berbalik ke arahku. Kami
saling menatap, pria itu tersenyum kepadaku. Hadeuh! Pria di sebelahku ini ternyata tidak seburuk yang ku kira.
Wajahnya indah dan semakin indah ketika tersenyum. Lesung pipitnya menjadi
pemanis senyumannya.
Tak kuasa
memandangnya terlalu lama, aku mengalihkan pandanganku kembali ke arah jendela
tanpa membalas senyumannya. Aku kembali menatap kegelapan malam di luar sana . Namun yang aku
pikirkan sekarang bukanlah tentang masa lalu, tapi tentang keindahan makhluk
Tuhan yang sedang bersanding bersamaku di bangku bus malam ini.
Tak terasa,
sebentar lagi bus akan mendekati persinggahanku. Aku bersiap-siap untuk turun
dari bus. Aku berlalu meninggalkan pria itu tanpa senyuman, tanpa sebutir kata
yang terlontar dari bibirku, dan tanpa menatap wajahnya yang terlalu indah bila
dipandang.
Aku berdiri di
depan bersama kondektur bus yang telah membuatku kecewa. Sampai di pertigaan
pasir hayam, aku bersiap untuk segera turun dari bus dengan memasang wajah
super jutek. Aku merasa muak melihat wajah kondektur yang tidak jujur itu.
“Hati-hati, Neng!”
ucap kondektur bus itu dengan genit yang menyebalkan.
Mantap. Aku
memakai sepatu hak tinggi dan dengan santainya aku meluapkan kekesalanku kepada
kondektur itu. Tanpa sengaja aku menginjak kaki kondektur itu.
“Aw!” teriak
kondektur itu, seketika ia melototiku.
“Maaf, Pak! Aku
tidak sengaja,” aku turun dari bus tanpa melihat pelototannya. Aku merasa
sangat lega, amarah yang kupendam selama berdiam diri di bus telah aku
lepaskan. Walau sebenarnya aku memang tidak sengaja menginjak kaki kondektur
itu.
Seperti biasa,
ojeg langgananku menghampiriku sesaat setelah aku turun dari bus. Aku langsung
naik ojeg itu tanpa berkata-kata, karena tukang ojeg di daerah sini sudah
mengenalku dan biasa mengantarkanku pulang.
Angin berhembus
meniup ragaku. Ah, wajah pria itu menghiasi pikiranku. Pria berjaket merah itu
sangat indah. Aku menyesal selama di bus tidak banyak bicara kepadanya. Aku
menyesal tidak sempat berkenalan dengannya. Padahal setelah aku melihat
senyumannya, aku berharap dia akan mengajakku berkenalan. Tapi tidak, dia pun
hanya terdiam sepertiku.
Ah, Pria
berjaket merah! Pria itu mulai menghiasi otakku. Sampai aku tiba di rumah pun,
aku masih memikirkannya.
Tuhan, dia begitu indah. Dari pandangan sesaat itu, aku
melihat kebaikan dalam dirinya. Semoga saja Engkau mempertemukan kami kembali, karena hati ini begitu yakin kalau ini adalah cinta, cinta pada pandangan
pertama. Tuhan, aku sungguh menginginkanya. Semoga Engkau menakdirkan hal indah
untukku dan dirinya. Amiin.
* * *
Sepulang kuliah,
aku duduk di bangku yang tersedia di depan kampus. Aku kembali menunggu bus
yang akan mengantarkanku pulang. Aku menutup mataku, menghirup udara malam kota Sukabumi dan
mendengarkan setiap irama kendaraan yang melintas di hadapanku.
Aku masih
mengingat setiap senyuman yang terpancar dari paras pria berjaket merah itu.
Aku pun berbisik dalam hati, “Hai, pria
berjaket merah yang tak pernah ku ketahui keasliannya! Aku berharap bus malam
ini akan mempertemukanku kembali dengan sosok sepertimu, meski hanya dengan
bayanganmu yang mampu meredamkan masa laluku yang terasa pilu. Meski mata ini
hanya menatapmu dalam satu kedipan, mata ini mampu menyimpan potret indahmu.
Meski telinga ini hanya mendengar selintas tanyamu tentang diriku, telinga ini
masih selalu mendengar bisikan-bisikan lembutmu. Meski tanganmu tak pernah
menyentuh apapun yang ku miliki, aku selalu merasakan belaian hangatmu yang
tulus untuk diriku. Dan meski aku sempat tidak mempercayai akan cinta pada
pandangan pertama, kali ini aku mulai percaya dengan melihat keindahan yang
terpancar dari jiwamu.”
Dengan perlahan
aku membuka mata. Betapa terkejutnya aku melihat sesosok pria yang duduk di
sampingku. Aku memandangnya dan dia memandangku jua, kami saling memandang.
Pria berjaket merah itu duduk di sampingku. Indah, dia terlalu indah untuk
dipandang. Dia mampu membuatku tersipu malu untuk menatapnya. Dengan segera
pula, aku memalingkan pandanganku dari senyuman indahnya. Lesung pipit di
pipinya membuat hatiku semakin bergetar. Ada cinta dalam setiap getarannya.
“Alan!” teriak
seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kampus.
Ternyata pria
berjaket merah itu bernama Alan. Lalu, siapa perempuan yang memanggilnya dan
mungkin sedang ditunggunya sedari tadi? Aku hanya bisa terdiam melihat Alan
menghampiri perempuan itu. Alan pun berlalu meninggalkanku dengan menunggangi
motor ninjanya yang berwarna biru. Ia berlalu bersama perempuan yang kurasa
lebih cantik dari diriku.
Aku kembali
berpikir tentang pria berjaket merah itu. Mungkin dia bukan jodohku. Pertemuan
singkat kami hanyalah kebahagiaan sesaatku. Kebahagiaan untukku melupakan
peristiwa silam dalam satu helaan nafasku.
Sementara aku
masih memandang kendaraan yang berlalu lalang. Aku masih setia menunggu bus
yang akan membawaku pulang ke kota kenyataanku. Kota yang selalu memberiku
kenyataan dalam hidup ini. Cianjur bersemi, kota kelahiranku yang tidak pernah
memberiku cerita khayalan. Tidak seperti kota Sukabumi yang selalu menjadi
persinggahan dari mimpi-mimpiku yang hanya bunga pikiran ini. Segala keindahan
kota Sukabumi hanyalah mimpi dalam setiap khayalku.
Aku berjalan
mendekati seorang pria paruh baya yang tak lain adalah tukang parkir di kampus.
Aku berniat untuk menanyakan bus terakhir malam ini. “Punten, Pak! Bus terakhir sudah lewat atau belum? Aku sudah menunggu
selama satu jam, tapi belum ada bus yang lewat.
“Tunggu saja,
Neng! Biasanya mah masih ada.”
“Hatur nuhun, Pak!”
Aku kembali
setia menunggu bus malam ini. Lampu-lampu yang menerangi kampus mulai
dipadamkan. Aku masih duduk seorang diri dan terdiam dalam keheningan. Aku
terus memandang ke arah jalanan. Tiba-tiba seorang pria bermotor berhenti di
hadapanku. Sepertinya aku mengenal motor dan pemiliknya itu. Dia adalah Alan,
pria berjaket merah.
Alan berjalan
menghampiriku, “Lewat dari jam sepuluh sudah tidak akan ada buis lagi. Mungkin
bus terakhir sudah lewat. Maklum, jadwal busnya labil, jadi setiap harinya
tidak menentu.” Alan menyodorkan sebuah helm kepadaku, “Kamu pulang bersamaku
saja! Kebetulan aku juga mau ke Cianjur.”
Aku hanya bisa
terdiam melihat Alan yang mengajakku pulang bersama. Aku ingin berkata “iya”
tapi bibir ini rasanya sangat kaku untuk mengatakannya.
“Ayo, sudah
malam! Tidak usah banyak berpikir! Tenang saja, aku tidak akan macam-macam!
Cukup satu macam saja, aku hanya khawatir melihat perempuan seorang diri di
kala malam.”
Akhirnya aku
menerima ajakannya karena bus yang kutunggu tak kunjung datang dan malam pun
semakin larut. Tanpa sepatah katapun, aku langsung naik kencana miliknya. Aku
duduk termenung di belakangnya dengan memeluk tas yang ku bawa. Alan melajukan
motornya dengan sangat tenang, membuat hatiku terasa nyaman bersamanya.
Bulan dan
bintang malam ini tersenyum kepadaku. Meskipun aku masih mencium bau anyir
darah dari setiap alunan jalan kenangan ini, wangi jiwanya mampu menyejukkan
setiap hembusan nafas masa lalu itu. Dingin pun mulai menyelusup ke dalam raga
ini. Kami sudah melewati daerah Sukaraja dan akan memasuki wilayah Sukalarang.
Aku mengusap-ngusap lenganku karena kedinginan. Meskipun aku memakai pakaian panjang dengan jilbab yang
menutupi rambutku, angin tetap menembus setiap celah baju yang ku pakai.
Alan menepikan
motornya ke pinggir jalan dan menghentikan laju motornya. Kemudian ia
melepaskan jaket merahnya, “Ini, pakai jaketku! Kamu pasti kedinginan.”
“Aku tidak
apa-apa. Aku memakai baju lengan panjang jadi tidak terlalu dingin. Kamu pakai
saja lagi jaketnya! Takutnya malah kamu yang kedinginan.” Aku menolak perhatian
yang diberikan Alan. Aku memang kedinginan, tapi kalau aku memakai jaketnya,
aku akan merasa lebih kedinginan karena membiarkannya kedinginan.
“Ayolah!” Alan
memakaikan jaketnya kepadaku.
“Maaf! Aku
paling tidak suka kalau dipaksa,” aku melepaskan jaketnya.
“Maafkan aku!”
Alan kembali
melajukan motornya tanpa memakai kembali jaketnya. Mungkin ini lebih adil dan
baik. Di antara kami tidak ada yang memakai jaket. Padahal aku merasakan dingin
yang menusuk ragaku dan aku merasakannya juga yang sedang kedinginan.
* * *
Setelah melewati
jalanan yang dingin dan begitu sepi, akhirnya kami sampai di Cianjur. Alan
mengantarkanku sampai depan rumah. Aku turun dari motornya dengan berat hati
karena harus berpisah dengannya. Aku tidak tahu apakah waktu akan mempertemukan
kami kembali.
“Terima kasih,
sudah mengantarku pulang!” ucapku lirih.
“Iya,
sama-sama,” balas Alan sambil memamerkan senyuman manisnya yang dibumbui dengan
lesung pipit yang menggoda.
“Maaf, aku tidak
bisa mengajakmu ke dalam rumah!”
“Tidak apa-apa.
Senang bisa mengantarkanmu pulang. Selamat beristirahat!”
“Iya, hati-hati
di jalan!”
Alan pun berlalu
dengan motornya. Aku segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.
Dari senyuman
akan perjalanan indah dari Sukabumi malam ini, hatiku kembali merasakan
kehampaan. Aku sangat ingin meloncati hari dan melewati sehari besok. Karna
esok hari adalah hari yang akan menentukan masa depanku, aku akan dilamar oleh
seorang pria pilihan Bapak. Bulan kemarin Bapak bertemu dengan sahabat lamanya,
dan Bapak merencanakan perjodohanku dengan anak dari sahabatnya itu. Aku
sebagai anak tidak bisa menolak kehendak orang tua. Aku tidak ingin menjadi
anak yang durhaka.
Tuhan, kenapa ada resah ketika aku akan menguncupkan
daun-daun mata ini? Kenapa ada rindu ketika hati merasa sepi? Kenapa hanya
tangis yang setia mendekapku dengan tulus? Kenapa dia hanyalah sebuah bayangan
dari mimpi-mimpiku? Padahal di setiap hembusan nafas ini selalu ada doa untukku
agar bisa bersamanya, bersamanya dengan sakinah yang diridhoi-Mu. Perasaan ini
terkoyah oleh setiap gambarannya dalam ingatanku. Aku hanya bisa berpasrah
dalam takdir cintaku. Aku hanya bisa menceritakan cinta ini kepada-Mu. Tuhan,
aku hanya ingin menjadi yang halal untuk dirinya.
Namun bila pria berjaket merah itu bukanlah jodohku.
Aku ikhlas untuk menjalani setiap cerita yang telah Kau susun. Aku selalu yakin
jikalau Engkau telah mempersiapkan lelaki yang baik untuk diriku. Aku serahkan
seluruh kehidupanku kepada-Mu, karena Engkaulah Maha Cinta yang mengetahui
segala hal terbaik untuk diriku.
Setelah tangisan
mengalir di pipiku, hatiku mulai terasa tenang, sehingga dengan perlahan aku
menutupkan mata dan tertidur dalam kedamaian hati. Namun, pria berjaket merah
itu hadir dalam mimpiku. Aku pun memimpikan kembali mantan pacarku. Dalam mimpi
itu, mantan pacarku mengucapkan “selamat tinggal” dan pria berjaket merah itu
tersenyum melihatku berpisah dengan mantan pacarku. Sedangkan aku hanya terdiam
dalam hening, sampai ada seseorang yang merangkul dan mendekapku dengan hangat.
Wangi tubuhnya begitu menyejukkan kalbu. Tapi aku tidak mengetahui siapa pria
itu.
Aku pun
terbangun dari tidurku tanpa mengetahui pria yang begitu indah dalam mimpiku
tadi. Pria itu menjadi pertanyaan dalam detik pikiranku. Mimpi menggantung
kisah cinta dalam dua detik waktuku. Yang aku mengerti dari mimpi tadi hanyalah
sebuah percakapan di masa lalu.
* * *
Pagi ini
orang-orang di rumahku sedang sibuk mempersiapkan acara lamaranku. Aku masih
termenung memikirkan mimpi semalam. Hatiku pun terasa sendu menghadapi acara
bersejarah ini. Aku merias wajahku dengan perlahan sambil menatap potret diriku
di kaca. Kemudian aku memakai jilbab dengan sedikit ukiran.
Hatiku semakin
sendu ketika aku mendengar calon suamiku beserta rombongannya telah tiba di
rumah. Dari dalam kamar aku hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan. Sudah
saatnya aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria berjaket merah itu.
“Selamat tinggal, Alan! Kita memang tidak berjodoh. Pertemuan di bus kala itu
hanya tinggallah kata-kata,” kataku yang masih menatap diri di cermin.
“Wulan!” panggil
Ibu sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya, Bu!” Aku
membuka pintu kamar. Lalu aku berjalan berdampingan bersama Ibu untuk
menghampiri rombongan tamu yang akan mengisi kisahku di masa depan. Aku
berjalan merendahkan hatiku dengan terus menunduk. Semoga saja pria yang akan
menjadi suamiku itu adalah pria yang mampu mengantarkan pelayaran hidupku
dengan iman dan takwa sebaik-baiknya makhluk Tuhan.
Percakapan
lamaran pun dimulai. Aku masih menundukkan pandanganku. Aku mendengar setiap
kata yang dialunkan oleh para perwakilan keluarga, dari keluargaku dan dari
keluarga sahabat Bapakku.
Sampai Ibu dari
calon suamiku memberikan kalung emas kepadaku dan memasangkannya di leherku,
aku baru tersenyum tanpa melirik pria yang akan menjadi suamiku. Nampaknya pria
itu pun tidak berkomentar sedikit pun. Mungkin pria itu juga belum menerima
perjodohan ini.
Kesepakatan
antara dua keluarga telah terjalin. Aku dan pria itu akan menikah bulan depan.
Aku merasa pilu dengan kesepakatan yang baru saja kudengar.
Sementara para
rombongan calon suamiku menikmati jamuan yang telah dipersiapkan oleh
keluargaku, aku keluar ruangan rumah yang kurasa telah penat dari kericuhan
jiwa yang merapuh ini. Aku duduk di bangku depan rumahku.
“Hai!” ucap
seorang pria menyapa diriku.
Aku yang sedang
duduk termenung melirik ke arahnya. Aku terkejut melihat Alan, pria berjaket
merah yang selalu menghiasi batinku, berdiri di hadapaku. Aku merasa seperti
bermimpi melihatnya tersenyum semanis harapanku.
Alan duduk di
sampingku, “Awalnya aku menolak perjodohan ini. Namun entah mengapa ketika Ayah
menerangkanku tentang wanita yang akan dijodohkan denganku, aku menerima
perjodohan ini. Harapan cintaku semakin meyakin kepada seorang wanita yang ku
impikan ketika Ayah berkata kalau wanita itu adalah orang Cianjur.
Aku berdoa dalam
malam-malamku. Aku berharap agar Tuhan menjodohkanku dengan wanita yang pernah
duduk di sampingku ketika aku naik bus menuju Cianjur. Wanita yang terlihat
jutek tapi mengagumkan. Wanita yang menenangkan hatiku dari jarak Sukabumi ke
Cianjur. Doaku pun terkabul. Jodohku adalah kamu.”
“Aku, aku tidak
tahu harus bagaimana menyikapi setiap rahasia Tuhan. Aku hanya bisa bersyukur
kepada-Nya. Tapi, siapa wanita yang kau jemput di kampus kala itu?”
“Dia Ayla,
adikku. Sekarang dia tidak bisa ikut ke sini karena pekerjaannya tidak bisa
ditinggalkan.
Hati yang sendu,
lara, dan pilu seketika berubah menjadi senyuman. Wanita yang ia tunggu di
Sukabumi kala itu ternyata adalah adik kandungnya. Hatiku tersenyum melihat
keelokan parasnya dan mendengar alunan nada-nada ceritanya. Dari Sukabumi cinta
itu bersemi dalam sebuah bus penghantar masa depanku.
* * *
Kini aku telah
bersanding dengan pria berjaket merah itu. Merajut cinta dalam kehalalan. Aku
bahagia dalam ibadahku. Peristiwa masa lalu menjadikan cinta baru atas dasar
cintaku kepada Tuhan.
Aku memeluk Alan
yang telah menjadi kekasih halalku, “Aku pernah berpikir, pertemuan singkat
kita kala itu adalah sebuah cerita singkat yang tinggallah sebuah kata-kata.
Ternyata Tuhan berkata lain. Pertemuan itu adalah awalku bersanding dengan
jodohku. Cinta pada pandangan pertama itu adalah untuk selamanya.”
“Itulah takdir
Tuhan. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana takdir kita ke depannya. Maka dari
itu, kita harus selalu berbaik sangka kepada Tuhan.”
“Iya. Aku
bersyukur Tuhan telah menganugerahkan dirimu untuk diriku. Dengan kesederhanaan
hati yang ku miliki ini, aku ingin memberikan seluruh cintaku kepada Tuhan
dengan sempurna, salah satunya adalah melalui caraku untuk menjadi istri soleha
bagi dirimu.”
Dari kota
Sukabumi, aku mendapatkan kehalalan cintaku. Kini aku mampu tersenyum berada
dalam dekapan Alan. Sukabumi adalah tempat yang menjadi saksi awal pertemuanku
dengan pria berjaket merah itu. Alan telah mengobarkan semangat cinta dalam
hatiku dan menghangatkan setiap dinginnya perasaanku.
Sukabumi kini
tidak lagi menjabat status sebagai kota khayalanku. Sukabumi adalah kota
jodohku, bukan hanya sekedar jodoh impian, tapi juga takdir jodoh dalam hidupku
untuk dunia dan akhirat nanti. Sukabumi adalah kota yang menyimpan benih-benih
masa depanku yang berilmu dan bercinta.
0 komentar:
Posting Komentar