Sabtu, 22 Juni 2013

CERPEN "HALALAN SUKABUMI"


Malam ini bus kembali membawaku ke Sukabumi. Kunikmati setiap jalan yang dilalui. Jalan ini adalah jalan kenangan. Ketika aku tenggelam dalam cinta seseorang yang kini tak di sampingku lagi. Seseorang yang aku kira akan menjadi tempat terakhir cintaku. Seseorang yang telah membuatku menjadi orang lain. Seseorang yang merubah setiap langkah kehidupanku. Seseorang yang akhirnya memilih cinta lain dalam hidupnya dan menghapus setiap cerita yang aku ukir dalam hatinya.
Aku sadar akan setiap lembar kesalahan yang kutulis untuk dirinya. Kesadaran itu muncul ketika dia menutup hatinya untukku. Begitu banyak daftar kesalahan yang kubuat ketika dia menjadi kekasihku.
Namun semangatku kembali muncul ketika aku memasuki ruangan di kampusku. Kini hanyalah cita-cita yang terbenam di otakku. Aku harus bisa bangkit dari hitamnya masa lalu. Aku harus mengukir setiap mimpi yang akan menjadi masa depanku.
Waktu benar-benar telah menghapus bayangannya dari pikiranku. Aku telah mampu menyapu setiap helai cintanya dalam hatiku dan aku telah siap membuka hati untuk orang selain dirinya.
Dari mulai sekarang, aku tidak boleh mengingatnya lagi dan aku harus fokus terhadap cita-citaku. Meski senda gurau menghiasi kelas malam ini. Aku tetap harus serius belajar dan meresapi setiap ilmu yang diberikan oleh dosen-dosenku.
Setelah melewati dua mata kuliah malam ini, saatnya aku untuk kembali ke kotaku tercinta, Cianjur. Aku berjalan dengan senyuman menuju tempat pemberhentian bus. Tanpa ada ini itu, aku langsung naik bus yang sedang mejeng di dekat kampusku. Aku duduk di bangku urutan keempat dari belakang sopir. Aku duduk manis dan menyandar ke kursi.
Hari ini sangat melelahkan tapi juga menyenangkan. Entah kenapa aku selalu merasakan kebebasan hati ketika aku belajar di kampus. Hatiku selalu terasa damai menjalin silaturahmi bersama teman-teman kuliahku.
Meskipun Sukabumi pernah menyimpan kenangan burukku bersama seseorang, tapi aku selalu merasa tenang bila terdiam di kota ini. Aku tak pernah merasa galau atau pun risau ketika harus kembali ke kota ini. Begitu pun dengan apa yang kurasakan saat ini, hatiku terasa sangat tentram. Kegiatanku hari ini, dari mulai bekerja sampai kuliah malam, membuatku tertidur di dalam bus yang masih diam ini.
Sampai bus berjalan mengantarkanku pulang ke rumah, aku masih tertidur pulas.
“Neng, ongkos Neng!” kata kondektur bus sambil menepuk-nepuk pundakku.
Dengan perlahan aku membuka mata dan mengumpulkan nyawa yang baru saja melewati dunia mimpi. Kemudian aku mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah dari saku dan memberikannya kepada kondektur itu. Kondektur itu pun berlalu begitu saja.
“Mang, mana kembaliannya?” teriakku kepada kondektur itu.
“Kembalian apa, Neng?” balas kondektur itu yang masih menarik ongkos dari penumpang lainnya yang duduk di bangku paling depan.
“Biasanya juga kalau dari Sukabumi ke Cianjur, ongkosnya cuma enam ribu!” aku mulai mengerang dan kesal.
“Ini bus terakhir, Neng. Jadi ongkosnya beda.”
“Iya, biasanya juga enam ribu. Kalau malam aku selalu naik bus terakhir, naik bus Sangkuriang saja ongkosnya enam ribu,” aku semakin kesal kepada kondektur bus itu.
Kondektur bus itu tidak menggubris perkataanku, ia malah menggerutu kepada sopir bus, “Da ieu mah lain beus Sangkuriang atuh!” Kendektur bus itu berkata kalau bus ini bukan bus Sangkuriang.
“Biasanya enam ribu, ya? Memang Teteh sudah dari mana?” tanya seorang pria yang duduk di sampingku.
Tanpa memperhatikan wajahnya aku membalas pertanyaannya, “Iya, biasanya juga enam ribu. Setiap hari Selasa dan Rabu aku selalu pulang malam dan ongkosnya selalu enam ribu.
“Memangnya Teteh sudah dari mana?”
“Kuliah,” jawabku singkat.
Lalu kami terdiam dalam hening. Aku terdiam melirik pemandangan jalan di kala malam dari balik jendela bus. Malam begitu sunyi, sesunyi hatiku setelah kepergian dia yang dulu meramaikan hatiku.
Bus terus melaju melewati jalanan yang mulai sepi dari pengunjung berkendaraan. Waktu terus berdetik menghampiri malam dan kedinginan. Sedangkan aku terus termenung memandang setiap kesepian malam itu. Aku hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan akan nasib cintaku. Namun aku tetap yakin kalau Tuhan akan memberikan keindahan cinta pada waktunya.
Mungkin sudah saatnya aku kembali kepada Tuhan dan berhenti memikirkan cinta itu. Cinta yang telah membutakan pikiran dan mata hatiku. Mungkin sudah saatnya aku kembali kepada keteguhan imanku. Cinta kepada sesama hanya membuat hatiku lara. Tapi cinta kepada Tuhan pasti selalu indah sekalipun jalan yang harus ditempuh tak seindah harapan dan keinginan.

* * *

Pria di sebelahku sungguh mengusik diamku. Dia terus tertawa kecil. Kemudian aku melirik ke arahnya, pria itu sedang memotret ekspresi temannya yang sedang tertidur di urutan bangku tetangga. Pria itu pun berbalik ke arahku. Kami saling menatap, pria itu tersenyum kepadaku. Hadeuh! Pria di sebelahku ini ternyata tidak seburuk yang ku kira. Wajahnya indah dan semakin indah ketika tersenyum. Lesung pipitnya menjadi pemanis senyumannya.
Tak kuasa memandangnya terlalu lama, aku mengalihkan pandanganku kembali ke arah jendela tanpa membalas senyumannya. Aku kembali menatap kegelapan malam di luar sana. Namun yang aku pikirkan sekarang bukanlah tentang masa lalu, tapi tentang keindahan makhluk Tuhan yang sedang bersanding bersamaku di bangku bus malam ini.
Tak terasa, sebentar lagi bus akan mendekati persinggahanku. Aku bersiap-siap untuk turun dari bus. Aku berlalu meninggalkan pria itu tanpa senyuman, tanpa sebutir kata yang terlontar dari bibirku, dan tanpa menatap wajahnya yang terlalu indah bila dipandang.
Aku berdiri di depan bersama kondektur bus yang telah membuatku kecewa. Sampai di pertigaan pasir hayam, aku bersiap untuk segera turun dari bus dengan memasang wajah super jutek. Aku merasa muak melihat wajah kondektur yang tidak jujur itu.
“Hati-hati, Neng!” ucap kondektur bus itu dengan genit yang menyebalkan.
Mantap. Aku memakai sepatu hak tinggi dan dengan santainya aku meluapkan kekesalanku kepada kondektur itu. Tanpa sengaja aku menginjak kaki kondektur itu.
“Aw!” teriak kondektur itu, seketika ia melototiku.
“Maaf, Pak! Aku tidak sengaja,” aku turun dari bus tanpa melihat pelototannya. Aku merasa sangat lega, amarah yang kupendam selama berdiam diri di bus telah aku lepaskan. Walau sebenarnya aku memang tidak sengaja menginjak kaki kondektur itu.
Seperti biasa, ojeg langgananku menghampiriku sesaat setelah aku turun dari bus. Aku langsung naik ojeg itu tanpa berkata-kata, karena tukang ojeg di daerah sini sudah mengenalku dan biasa mengantarkanku pulang.
Angin berhembus meniup ragaku. Ah, wajah pria itu menghiasi pikiranku. Pria berjaket merah itu sangat indah. Aku menyesal selama di bus tidak banyak bicara kepadanya. Aku menyesal tidak sempat berkenalan dengannya. Padahal setelah aku melihat senyumannya, aku berharap dia akan mengajakku berkenalan. Tapi tidak, dia pun hanya terdiam sepertiku.
Ah, Pria berjaket merah! Pria itu mulai menghiasi otakku. Sampai aku tiba di rumah pun, aku masih memikirkannya.
Tuhan, dia begitu indah. Dari pandangan sesaat itu, aku melihat kebaikan dalam dirinya. Semoga saja Engkau mempertemukan kami kembali, karena hati ini begitu yakin kalau ini adalah cinta, cinta pada pandangan pertama. Tuhan, aku sungguh menginginkanya. Semoga Engkau menakdirkan hal indah untukku dan dirinya. Amiin.

* * *

Sepulang kuliah, aku duduk di bangku yang tersedia di depan kampus. Aku kembali menunggu bus yang akan mengantarkanku pulang. Aku menutup mataku, menghirup udara malam kota Sukabumi dan mendengarkan setiap irama kendaraan yang melintas di hadapanku.
Aku masih mengingat setiap senyuman yang terpancar dari paras pria berjaket merah itu. Aku pun berbisik dalam hati, “Hai, pria berjaket merah yang tak pernah ku ketahui keasliannya! Aku berharap bus malam ini akan mempertemukanku kembali dengan sosok sepertimu, meski hanya dengan bayanganmu yang mampu meredamkan masa laluku yang terasa pilu. Meski mata ini hanya menatapmu dalam satu kedipan, mata ini mampu menyimpan potret indahmu. Meski telinga ini hanya mendengar selintas tanyamu tentang diriku, telinga ini masih selalu mendengar bisikan-bisikan lembutmu. Meski tanganmu tak pernah menyentuh apapun yang ku miliki, aku selalu merasakan belaian hangatmu yang tulus untuk diriku. Dan meski aku sempat tidak mempercayai akan cinta pada pandangan pertama, kali ini aku mulai percaya dengan melihat keindahan yang terpancar dari jiwamu.”
Dengan perlahan aku membuka mata. Betapa terkejutnya aku melihat sesosok pria yang duduk di sampingku. Aku memandangnya dan dia memandangku jua, kami saling memandang. Pria berjaket merah itu duduk di sampingku. Indah, dia terlalu indah untuk dipandang. Dia mampu membuatku tersipu malu untuk menatapnya. Dengan segera pula, aku memalingkan pandanganku dari senyuman indahnya. Lesung pipit di pipinya membuat hatiku semakin bergetar. Ada cinta dalam setiap getarannya.
“Alan!” teriak seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kampus.
Ternyata pria berjaket merah itu bernama Alan. Lalu, siapa perempuan yang memanggilnya dan mungkin sedang ditunggunya sedari tadi? Aku hanya bisa terdiam melihat Alan menghampiri perempuan itu. Alan pun berlalu meninggalkanku dengan menunggangi motor ninjanya yang berwarna biru. Ia berlalu bersama perempuan yang kurasa lebih cantik dari diriku.
Aku kembali berpikir tentang pria berjaket merah itu. Mungkin dia bukan jodohku. Pertemuan singkat kami hanyalah kebahagiaan sesaatku. Kebahagiaan untukku melupakan peristiwa silam dalam satu helaan nafasku.
Sementara aku masih memandang kendaraan yang berlalu lalang. Aku masih setia menunggu bus yang akan membawaku pulang ke kota kenyataanku. Kota yang selalu memberiku kenyataan dalam hidup ini. Cianjur bersemi, kota kelahiranku yang tidak pernah memberiku cerita khayalan. Tidak seperti kota Sukabumi yang selalu menjadi persinggahan dari mimpi-mimpiku yang hanya bunga pikiran ini. Segala keindahan kota Sukabumi hanyalah mimpi dalam setiap khayalku.
Aku berjalan mendekati seorang pria paruh baya yang tak lain adalah tukang parkir di kampus. Aku berniat untuk menanyakan bus terakhir malam ini. “Punten, Pak! Bus terakhir sudah lewat atau belum? Aku sudah menunggu selama satu jam, tapi belum ada bus yang lewat.
“Tunggu saja, Neng! Biasanya mah masih ada.”
Hatur nuhun, Pak!”
Aku kembali setia menunggu bus malam ini. Lampu-lampu yang menerangi kampus mulai dipadamkan. Aku masih duduk seorang diri dan terdiam dalam keheningan. Aku terus memandang ke arah jalanan. Tiba-tiba seorang pria bermotor berhenti di hadapanku. Sepertinya aku mengenal motor dan pemiliknya itu. Dia adalah Alan, pria berjaket merah.
Alan berjalan menghampiriku, “Lewat dari jam sepuluh sudah tidak akan ada buis lagi. Mungkin bus terakhir sudah lewat. Maklum, jadwal busnya labil, jadi setiap harinya tidak menentu.” Alan menyodorkan sebuah helm kepadaku, “Kamu pulang bersamaku saja! Kebetulan aku juga mau ke Cianjur.”
Aku hanya bisa terdiam melihat Alan yang mengajakku pulang bersama. Aku ingin berkata “iya” tapi bibir ini rasanya sangat kaku untuk mengatakannya.
“Ayo, sudah malam! Tidak usah banyak berpikir! Tenang saja, aku tidak akan macam-macam! Cukup satu macam saja, aku hanya khawatir melihat perempuan seorang diri di kala malam.”
Akhirnya aku menerima ajakannya karena bus yang kutunggu tak kunjung datang dan malam pun semakin larut. Tanpa sepatah katapun, aku langsung naik kencana miliknya. Aku duduk termenung di belakangnya dengan memeluk tas yang ku bawa. Alan melajukan motornya dengan sangat tenang, membuat hatiku terasa nyaman bersamanya.
Bulan dan bintang malam ini tersenyum kepadaku. Meskipun aku masih mencium bau anyir darah dari setiap alunan jalan kenangan ini, wangi jiwanya mampu menyejukkan setiap hembusan nafas masa lalu itu. Dingin pun mulai menyelusup ke dalam raga ini. Kami sudah melewati daerah Sukaraja dan akan memasuki wilayah Sukalarang. Aku mengusap-ngusap lenganku karena kedinginan. Meskipun aku  memakai pakaian panjang dengan jilbab yang menutupi rambutku, angin tetap menembus setiap celah baju yang ku pakai.
Alan menepikan motornya ke pinggir jalan dan menghentikan laju motornya. Kemudian ia melepaskan jaket merahnya, “Ini, pakai jaketku! Kamu pasti kedinginan.”
“Aku tidak apa-apa. Aku memakai baju lengan panjang jadi tidak terlalu dingin. Kamu pakai saja lagi jaketnya! Takutnya malah kamu yang kedinginan.” Aku menolak perhatian yang diberikan Alan. Aku memang kedinginan, tapi kalau aku memakai jaketnya, aku akan merasa lebih kedinginan karena membiarkannya kedinginan.
“Ayolah!” Alan memakaikan jaketnya kepadaku.
“Maaf! Aku paling tidak suka kalau dipaksa,” aku melepaskan jaketnya.
“Maafkan aku!”
Alan kembali melajukan motornya tanpa memakai kembali jaketnya. Mungkin ini lebih adil dan baik. Di antara kami tidak ada yang memakai jaket. Padahal aku merasakan dingin yang menusuk ragaku dan aku merasakannya juga yang sedang kedinginan.

* * *
Setelah melewati jalanan yang dingin dan begitu sepi, akhirnya kami sampai di Cianjur. Alan mengantarkanku sampai depan rumah. Aku turun dari motornya dengan berat hati karena harus berpisah dengannya. Aku tidak tahu apakah waktu akan mempertemukan kami kembali.
“Terima kasih, sudah mengantarku pulang!” ucapku lirih.
“Iya, sama-sama,” balas Alan sambil memamerkan senyuman manisnya yang dibumbui dengan lesung pipit yang menggoda.
“Maaf, aku tidak bisa mengajakmu ke dalam rumah!”
“Tidak apa-apa. Senang bisa mengantarkanmu pulang. Selamat beristirahat!”
“Iya, hati-hati di jalan!”
Alan pun berlalu dengan motornya. Aku segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.
Dari senyuman akan perjalanan indah dari Sukabumi malam ini, hatiku kembali merasakan kehampaan. Aku sangat ingin meloncati hari dan melewati sehari besok. Karna esok hari adalah hari yang akan menentukan masa depanku, aku akan dilamar oleh seorang pria pilihan Bapak. Bulan kemarin Bapak bertemu dengan sahabat lamanya, dan Bapak merencanakan perjodohanku dengan anak dari sahabatnya itu. Aku sebagai anak tidak bisa menolak kehendak orang tua. Aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka.
Tuhan, kenapa ada resah ketika aku akan menguncupkan daun-daun mata ini? Kenapa ada rindu ketika hati merasa sepi? Kenapa hanya tangis yang setia mendekapku dengan tulus? Kenapa dia hanyalah sebuah bayangan dari mimpi-mimpiku? Padahal di setiap hembusan nafas ini selalu ada doa untukku agar bisa bersamanya, bersamanya dengan sakinah yang diridhoi-Mu. Perasaan ini terkoyah oleh setiap gambarannya dalam ingatanku. Aku hanya bisa berpasrah dalam takdir cintaku. Aku hanya bisa menceritakan cinta ini kepada-Mu. Tuhan, aku hanya ingin menjadi yang halal untuk dirinya.
Namun bila pria berjaket merah itu bukanlah jodohku. Aku ikhlas untuk menjalani setiap cerita yang telah Kau susun. Aku selalu yakin jikalau Engkau telah mempersiapkan lelaki yang baik untuk diriku. Aku serahkan seluruh kehidupanku kepada-Mu, karena Engkaulah Maha Cinta yang mengetahui segala hal terbaik untuk diriku.
Setelah tangisan mengalir di pipiku, hatiku mulai terasa tenang, sehingga dengan perlahan aku menutupkan mata dan tertidur dalam kedamaian hati. Namun, pria berjaket merah itu hadir dalam mimpiku. Aku pun memimpikan kembali mantan pacarku. Dalam mimpi itu, mantan pacarku mengucapkan “selamat tinggal” dan pria berjaket merah itu tersenyum melihatku berpisah dengan mantan pacarku. Sedangkan aku hanya terdiam dalam hening, sampai ada seseorang yang merangkul dan mendekapku dengan hangat. Wangi tubuhnya begitu menyejukkan kalbu. Tapi aku tidak mengetahui siapa pria itu.
Aku pun terbangun dari tidurku tanpa mengetahui pria yang begitu indah dalam mimpiku tadi. Pria itu menjadi pertanyaan dalam detik pikiranku. Mimpi menggantung kisah cinta dalam dua detik waktuku. Yang aku mengerti dari mimpi tadi hanyalah sebuah percakapan di masa lalu.

* * *

Pagi ini orang-orang di rumahku sedang sibuk mempersiapkan acara lamaranku. Aku masih termenung memikirkan mimpi semalam. Hatiku pun terasa sendu menghadapi acara bersejarah ini. Aku merias wajahku dengan perlahan sambil menatap potret diriku di kaca. Kemudian aku memakai jilbab dengan sedikit ukiran.
Hatiku semakin sendu ketika aku mendengar calon suamiku beserta rombongannya telah tiba di rumah. Dari dalam kamar aku hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan. Sudah saatnya aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria berjaket merah itu. “Selamat tinggal, Alan! Kita memang tidak berjodoh. Pertemuan di bus kala itu hanya tinggallah kata-kata,” kataku yang masih menatap diri di cermin.
“Wulan!” panggil Ibu sambil mengetuk pintu kamarku.
“Iya, Bu!” Aku membuka pintu kamar. Lalu aku berjalan berdampingan bersama Ibu untuk menghampiri rombongan tamu yang akan mengisi kisahku di masa depan. Aku berjalan merendahkan hatiku dengan terus menunduk. Semoga saja pria yang akan menjadi suamiku itu adalah pria yang mampu mengantarkan pelayaran hidupku dengan iman dan takwa sebaik-baiknya makhluk Tuhan.
Percakapan lamaran pun dimulai. Aku masih menundukkan pandanganku. Aku mendengar setiap kata yang dialunkan oleh para perwakilan keluarga, dari keluargaku dan dari keluarga sahabat Bapakku.
Sampai Ibu dari calon suamiku memberikan kalung emas kepadaku dan memasangkannya di leherku, aku baru tersenyum tanpa melirik pria yang akan menjadi suamiku. Nampaknya pria itu pun tidak berkomentar sedikit pun. Mungkin pria itu juga belum menerima perjodohan ini.
Kesepakatan antara dua keluarga telah terjalin. Aku dan pria itu akan menikah bulan depan. Aku merasa pilu dengan kesepakatan yang baru saja kudengar.
Sementara para rombongan calon suamiku menikmati jamuan yang telah dipersiapkan oleh keluargaku, aku keluar ruangan rumah yang kurasa telah penat dari kericuhan jiwa yang merapuh ini. Aku duduk di bangku depan rumahku.
“Hai!” ucap seorang pria menyapa diriku.
Aku yang sedang duduk termenung melirik ke arahnya. Aku terkejut melihat Alan, pria berjaket merah yang selalu menghiasi batinku, berdiri di hadapaku. Aku merasa seperti bermimpi melihatnya tersenyum semanis harapanku.
Alan duduk di sampingku, “Awalnya aku menolak perjodohan ini. Namun entah mengapa ketika Ayah menerangkanku tentang wanita yang akan dijodohkan denganku, aku menerima perjodohan ini. Harapan cintaku semakin meyakin kepada seorang wanita yang ku impikan ketika Ayah berkata kalau wanita itu adalah orang Cianjur.
Aku berdoa dalam malam-malamku. Aku berharap agar Tuhan menjodohkanku dengan wanita yang pernah duduk di sampingku ketika aku naik bus menuju Cianjur. Wanita yang terlihat jutek tapi mengagumkan. Wanita yang menenangkan hatiku dari jarak Sukabumi ke Cianjur. Doaku pun terkabul. Jodohku adalah kamu.”
“Aku, aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi setiap rahasia Tuhan. Aku hanya bisa bersyukur kepada-Nya. Tapi, siapa wanita yang kau jemput di kampus kala itu?”
“Dia Ayla, adikku. Sekarang dia tidak bisa ikut ke sini karena pekerjaannya tidak bisa ditinggalkan.
Hati yang sendu, lara, dan pilu seketika berubah menjadi senyuman. Wanita yang ia tunggu di Sukabumi kala itu ternyata adalah adik kandungnya. Hatiku tersenyum melihat keelokan parasnya dan mendengar alunan nada-nada ceritanya. Dari Sukabumi cinta itu bersemi dalam sebuah bus penghantar masa depanku.

* * *
Kini aku telah bersanding dengan pria berjaket merah itu. Merajut cinta dalam kehalalan. Aku bahagia dalam ibadahku. Peristiwa masa lalu menjadikan cinta baru atas dasar cintaku kepada Tuhan.
Aku memeluk Alan yang telah menjadi kekasih halalku, “Aku pernah berpikir, pertemuan singkat kita kala itu adalah sebuah cerita singkat yang tinggallah sebuah kata-kata. Ternyata Tuhan berkata lain. Pertemuan itu adalah awalku bersanding dengan jodohku. Cinta pada pandangan pertama itu adalah untuk selamanya.”
“Itulah takdir Tuhan. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana takdir kita ke depannya. Maka dari itu, kita harus selalu berbaik sangka kepada Tuhan.”
“Iya. Aku bersyukur Tuhan telah menganugerahkan dirimu untuk diriku. Dengan kesederhanaan hati yang ku miliki ini, aku ingin memberikan seluruh cintaku kepada Tuhan dengan sempurna, salah satunya adalah melalui caraku untuk menjadi istri soleha bagi dirimu.”
Dari kota Sukabumi, aku mendapatkan kehalalan cintaku. Kini aku mampu tersenyum berada dalam dekapan Alan. Sukabumi adalah tempat yang menjadi saksi awal pertemuanku dengan pria berjaket merah itu. Alan telah mengobarkan semangat cinta dalam hatiku dan menghangatkan setiap dinginnya perasaanku.
Sukabumi kini tidak lagi menjabat status sebagai kota khayalanku. Sukabumi adalah kota jodohku, bukan hanya sekedar jodoh impian, tapi juga takdir jodoh dalam hidupku untuk dunia dan akhirat nanti. Sukabumi adalah kota yang menyimpan benih-benih masa depanku yang berilmu dan bercinta.

0 komentar: